Club Cooee

Jumat, 30 September 2011

Malang Sebagai Kota Pariwisata Kuliner


Wisata Kuliner Di Malang

Malang, kota sejuk ini hanya ‘ berjarak sekitar 90 km di selatan Surabaya yang dapat ditempuh sekitar 1-2 jam saja. Di masa lalu, Malang merupakan bagian dari kerajaan yang dipimpin Prabu Gajayana. Sekitar 1722, Belanda berhasil masuk ke kota Malang dan mengibarkan benderanya. Untuk mempertahankan wilayah yang berhasil direbutnya, Belanda membangun sebuah benteng yang dikenal dengan istilah loji. Lokasi benteng kini dikenal sebagai Rumah Sakit Umum Daerah Syaiful Anwar. Pada 1767, barulah Belanda berhasil menguasai Malang sepenuhnya. Tahun ini menandai awal penjajahan Belanda di wilayah Malang. Adipati Maloyo Kusumo mati-matian berusaha mengusir Belanda dari wilayah Malang. Walau usahanya berhasil dikalahkan oleh Belanda, namun nama besar Adipati Maloyo Kusumo tercatat sebagai salah satu pahlawan kota Malang dalam lembaran . sejarah masa lalu kota ini. .

Dalam buku History of Java karya Gubernur Jenderal Raffles yang terbit sekitar 1812, Malang dikenal sebagai daerah perkebunan dibawah Ka- residenan Pasuruan. Belanda mengatur dan menata sistem administrasi kepemerintahan mulai. diatur dengan memusatkan pemerintah Belanda di sekitar kali Brantas yang melintasi kota Malang sejak 1821, namun baru 3 tahun kemudian memiliki seorang Asisten Residen. Malang semakin berkembang pesat setelah dibangun jalur kereta api pada 1879 dan dibukanya berbagai perkebunan terutama tebu untuk industri gula. Belanda memandang kota Malang sangat baik untuk dijadikan kota peristirahatan bagi para pejabat Belanda maupun para pensiunan pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda (sebutan Indonesia pada waktu itu) dengan berbagai fasilitas hiburan seperti restoran, pacuan kuda, hotel, rumah-rumah bertipe vila seperti yang terlihat di sekitar jalan raya Ijen.

Dalam perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1882, di bagian barat kota Malang mulai di-bangun rumah-rumah penduduk, sedangkan ditengah kota didirikan alun-alun sebagai monumen atas keberhasilan Belanda menguasai wilayah Malang. Barulah pada 1914, Malang ditetapkan sebagai kotapraja (kotamadya) melalui Staadsblad no. 297, dan dikepalai oleh seorang walikota. Setelah Kodya Malang terbentuk, Walikota dipilih pada 1919 yang tak lain adalah seorang arsitek Belanda.

Kota Malang berkembang menjadi kota terbesar kedua setelah Surabaya. Lambang kota Malang yang baru dibuat pada 1937 melalui Surat Ketetapan Government Besluit no. 42.407/13 yang mana tertulis semboyan kota Malang pada masa itu adalah “Malang Nominor Sursum Moveor” yang artinya “Malang Namaku Maju Tujuanku” Namun, 21 September 1945, kota Malang kembali masuk ke pangkuan wilayah Republik Indonesia,dan sejak 1971 ditetapkan sebuah lambang baru sebagai pengganti lambang yang lama, sekaligus sebagai tonggak semboyan baru di era kemerdekaan,yaitu “Malang Kucecwara” yang artinya “Menghancurkan yang Batil dan Menegakkan yang Benar”Sebagai kota pendidikan, industri dan pariwisata, warga Malang mempunyai cita-cita yang dikenal sebagai Tribina Cita Kota Malang.

Tidak lepas dari tujuan dan cita-cita kota Malang sebagai kota pariwisata, maka di kembangkanlah usaha-usaha untuk mengangkat nama kota Malang sebagai pusat kunjungan wisata yang dalam hal ini sebagai salah satu daya tariknya adalah di bidang kuliner atau aneka masakan dan penganan khas Malang sebagai daya tarik bagi para wisatawan, baik wisatawan asing maupun wisatawan domestik. Berbincang mengenai masalah kuliner atau masakan dan penganan khas kota Malang tidak bisa lepas dari aspek multikultural yang ada di kota ini sejak zaman kolonial. Di era penjajahan Belanda, kota Malang dihuni oleh berbagai etnis dan suku bangsa, mulai dari suku Jawa, Madura, Melayu (Sumatra), etnis Cina/Tionghoa, etnis Arab dan India, serta berbagai bangsa Eropa. Itulah sebabnya berbagai makanan dan jajanan khas Malang terpengaruh oleh berbagai macam budaya tersebut, baik budaya lokal maupun budaya yang dibawa oleh bangsa pendatang.

Malang sejak lama memiliki warga dari beragam etnis dengan mayoritas suku Jawa yang di-ikuti suku Madura, suku Melayu (Sumatra), etnis Tionghoa, etnis Arab, etnis India, maupun bangsa-bangsa Eropa yang pernah mendiami kota Malang. Terkadang terjadi akulturasi atau sinkretisme budaya (perpaduan dan penyatuan budaya) yang tertuang dalam wujud masakan atau hidangan kuliner sehingga muncul sebuah cita rasa baru yang khas hasil perpaduan atau penyesuaian suatu jenis hidangan kuliner dengan lidah masyarakat setempat atau kultur/budaya setempat. Beberapa contoh yang mudah ditemui adalah hidangan Lontong Cap Gomeh. Awalnya merupakan hidangan khas Tionghoa untuk memperingati Hari Raya Imlek. Kini tidak melulu identik dengan Imlek saja,namun juga disajikan pada Hari Raya Idul Fitri. Hidangan bakso dan cui mie yang dahulunya banyak digemari oleh etnis Tionghoa, kini justru menjadi makanan khas kota Malang dan digemari oleh semua lapisan masyarakat, dikenal sebagai Bakwan Malang. Nasi Buk khas Madura, sekarang justru juga menjadi salah satu makanan khas Malang. Dan masih banyak ragam hidangan lain yang bersama berjalannya waktu akhirnya menjadi kebanggaan kuliner Malang. Sebut saja kue Sausage Brood (yang dahulu berasal dari kue khas Belanda), roti Warmball, kue kering Kattetonge (lidah kucing), Speculaast (biskuit jahe), dan kue Bakpia Malang (asalnya dari kue khas Tionghoa).

1 komentar:

footer widget