Club Cooee

Senin, 26 September 2011

Keadilan Sosial Dalam Ekonomi Pancasila

Pemerintah Indonesia telah berketepatan hati untuk memperbaiki rencana-rencana pembangunan lima tahun I dan II, yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara menekankan pada aspek pemerataan. Dengan tekanan pada aspek pemerataan ini, maka pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ditempatkan pada urutan kedua dan ketiga dalam trilogi pembangunan. Dalam delapan jalur pemerataan, yang dipakai sebagai cara-cara atau jalan untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerataan, maka lima di antaranya menyangkut bidang ekonomi, dua menyangkut bidang sosial dan satu menyangkut aspek hukum dan keadilan.

Dalam bidang pembangunan ekonomi pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerataan mengandung arti adanya kegiatan-kegiatan baru yang lebih mementingkan golongan ekonomi lemah atau kelompok miskin. Ini berarti bahwa secara sungguh-sungguh diusahakan program-program yang hasilnya dapat lebih mendekatkan jarak antara kelompok kuat dan kelompok lemah atau dapat mengurangi ketimpangan dalam pembagian pendapatan nasional.

Pemerataan dan Masalah Pelaksanaannya
Pendekatan pemerataan biasanya kita anggap merupakan terjemahan dari equity dan equality. Ini berarti bahwa karena pengamatan adanya perbedaan menyolok atau ketimpangan dalam pembagian pendapatan antara anggota-anggota masyarakat, maka ada usaha konkrit untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Memang pemerataan secara penuh tidak akan munikin dicapai; yang bisa dicapai adalah sekedar mengurangi ketimpangan yang ada.

Apakah program pemerataan merupakan sesuatu inovasi baru atau sebenarya merupakan program dari setiap negara dan setiap pemerintah? Pada prinsipnya di setiap negara di manapun juga selalu ada usaha pemerintah untuk tidak membiarkan adanya ketimpangan dalam pembagian kekayaan dan pendapatan, karena setiap ketimpangan selalu mengandung bahaya terjadinya keresahan dan ketidakstabilan masyarakat. Adapun mengapa sejak 1979 pemerintah menyusun kebijaksanaan dan program pemerataan adalah karena dengan pertumbuhan ekonomi yang melaju sejak 1969 maka ada sekelompok masyarakat yang maju pesat, padahal pada saat yang sama, ada sekelompok masyarakat lain yang tertinggal di belakang. Kelompok masyarakat yang tertinggal ini ada yang pendapatan riilnya naik sangat sedikit dan bahkan ada yang tidak mengalami kenaikan sama sekali

Tidak saja dalam masyarakat dan perekonomian modern yang menggunakan sistem pasar tetapi juga dalam masyarakat yang masih bersifat tradisional dan feodal terdapat masalah ketimpangan dalam pembagian kekayaan dan pendapatan. Setiap masyarakat mempunyai cara-caranya sendiri untuk mengatasi masalah ketimpangan tersebut. Ini berarti bahwa usaha untuk melaksanakan pemerataan (equity) dilakukan oleh setiap masyarakat. Negara yang menganut sistem ekonomi pasar melaksanakan program pemerataan dengan mempercayakan pada mekanisme pasar terutama dengan sistem perpajakan yang kompleks. Dalam masyarakat yang masih primitif, pemerataan dicapai dengan mekanisme balas membalas yang berarti bahwa setiap anggota masyarakat selalu menganut prinsip memberi dan menerima. Akhirya dalam masyarakat feodal kuno dimana negara dibagi ke dalam negara-negara bagian atau propinsi-propinsi yang memperoleh otonomi luas, maka usaha pemerataan benar-benar di laksanakan melalui sistem redistribusi yang dilakukan oleh raja. Raja menerima pungutan-pungutan dari vasal-vasalnya dan kemudian menggunakan hasil pungutan untuk menggaji pengawal dan tentara dan juga membagikannya kepada anggota-anggota masyarakat yang tidak mengerjakan tanah, bagi anggota-anggota keluarga raja lainnya, dan bagi anggota-anggota masyarakat lain yang tertinggal.

Ketiga cara tersebut ini oleh Karl Polanyi (1957) dinamakan bentuk pemaduan (integrasi) dari perekonomian yang berarti satu proses harmonisasi atau mekanisme menuju keseimbangan.

Di Indonesia sistem perekonomian yang berlaku mengandung unsur-unsur dari ketiga sistem yang disebutkan di atas yaitu sistem-sistem tradisional, feodal atau sistem pasar. Ini berarti bahwa baik cara balas membalas, pembagian kembali (redistribusi), maupun sistem mekanisme pasar, ketiganya berjalan secara simultan. Namun demikian pemerintah dengan sengaja mengadakan pengaturan-pengaturan baik berdasar atas adat kebiasaan maupun dengan pengaturan-pengaturan langsung. Misalnya keputusan Presiden (Kepres) no. 14 dan 14A dimaksudkan antara lain agar golongan ekonomi lemah mendapat kepastian berpartisipasi dalam berbagai bidang usaha tanpa harus berkompetisi secara sengit dengan golongan ekonomi kuat. Usaha pemerintah menggunakan organisasi Koperasi Unit Desa untuk mencapai tujuan pemerataan tidak mungkin diinterpretasikan lain daripada merupakan usaha ‘non-market’ untuk mengadakan pemerataan pendapatan.

Juga sistem pembagian beras kepada pegawai negeri dan ABRI mengandung arti bahwa pemerintah, terutama dalam keadaan inflasi, berusaha melindungi pegawai-pegawainya dari kemungkinan kesusahan yang diakibatkan oleh ‘kekejaman’ sistem pasar. Contoh terakhir, monopsoni dan monopoli pemerintah (Bulog) dalam perdagangan gula pasir dimaksudkan untuk melindungi konsumen (dan secara teoritis juga produsen). Dengan perkataan lain sistem redistribusi atau pemerataan non-pasar ini masih dianggap paling baik dan paling aman untuk melindungi sebagian warga negara yang termasuk lemah dalam konstelasi sistem pasar.

Masih banyak lagi contoh mengenai penggunaan sistem non-pasar dalam perekonomian untuk melaksanakan program-program pemerataan. Walaupun perekonomian Indonesia sudah termasuk perekonomian terbuka yang terkait secara langsung dengan perekonomian dunia, tidaklah berarti bahwa semua ‘bentuk pemaduan’ diatur melalui mekanisme sistem pasar. Pemerintah ternyata banyak sekali menerapkan kebijakan yang bersifat non pasar, dengan berpedoman pada sistem tradisional atau sistem feodal-kuno.

Satu ilustrasi jenis masalah yang memberi ciri pada pemecahan secara non-pasar adalah cara masyarakat kita menangani dilema. Dilema adalah suatu keadaan dimana prinsip pemilihan tidak (atau hampir tidak) mungkin dilakukan, karena altematif yang tersedia tidak dapat ditimbang bobotnya dengan ukuran uang atau dengan ukuran lain yang bersifat kuantitatif. Suatu dilema dapat diubah menjadi ‘choice’ apabila trade-off (ukuran untung rugi) dapat dihitung secara meyakinkan, dan kemudian pemilihan dapat diputuskan dengan mudah. Sebaliknya, suatu pilihan (choice) akan berubah menjadi dilema jika ‘trade off’ tersebut sukar ditentukan dan pemilihan rasional menjadi tidak mungkin dilakukan. Memang pada akhirya toh tindakan pemilihan dilakukan juga, tetapi ‘pemilihan’ ini tidak lagi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat rasional, tetapi atas pertimbangan-pertimbangan perasaan atau moral yang berdasar ‘kebiasaan’ atau tradisi. Demikian makin banyak masyarakat menghadapi dilema, maka makin sempit ruang gerak pemilihan yang tersedia dan makin sukar pemilihan dilakukan. Negara sedang berkembang seperti Indonesia cenderung lebih banyak menghadapi dilema dibanding negara-negara yang sudah maju. Dengan Iebih banyak menggunakan ukuran rasional kuantitatif maka negara-negara yang sudah maju mampu mengubah dilema menjadi soal pemilihan yang relatif sederhana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer widget