Club Cooee

Jumat, 30 September 2011

Teroris Merajalela

17 Juli 2009 urung menjadi hari biasa bagi masyarakat Indonesia. Banyak orang bergegas mencari informasi tragedi di pagi tragedi. Media massa segera menghantar kita ke lokasi tragedi. Bom meledak di pub Tentakel, lobi Hotel JW Marriott, pada pukul 07.47 WIB dan di restoran Airlangga, Hotel Ritz- Canton pada pukul 07.50 WIB. Aparat keamanan segera mengenali bahan peledaknya. Mereka juga mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott yang kepalanya tanggal dan pelaku di Hotel Ritz-Canton yang masih dapat dikenali wajahnya. Informasi awal mengenai pelaku mulai dengan pencarian jejak penyewa kamar 1808 Hotel JW Marriott. Aparat keamanan berhasil mendeteksi asal bom. Mereka juga berhasil melukis peta pergerakan pelaku teror bom. Nama Noordin M. Top kemudian mencuat sebagai terdakwa dalang pengeboman. Aparat keamanan memandang Noordin M. Top sebagai musuh yang sangat berbahaya bagi kedaulatan Indonesia.’

Berbagai pihak, termasuk warga masyarakat biasa, bergumul untuk mengeja pesan teror bom dari reruntuhan bangunan, tubuh luka, dan korban yang meninggal dunia. Fariz Al Mehdawi, duta besar Palestina untuk Indonesia, memandang pelaku teror bom sebagai sosok pengecut karena takut bertanggung jawab, dan mengungkap maksud dan tujuan terornya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara mengenai kemungkinan pertalian erat antara teror bom dengan pemilihan presiden yang baru saja usai. Presiden juga memberi tahu warga mengenai mengaku ancaman kematian yang dialamatkan kepadanya. Beberapa waktu kemudian, dalam peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal, ia mengungkapkan kerusakan kemanusiaan akibat teror bom.

Terorisme telah merobek dan melukai hati seluruh rakyat yang tengah membangun dan berjuang mewujudkan masyarakat yang aman, berkeadilan, dan sejahtera. Terorisme telah merobek rasa aman dan damai yang dibangun dengan susah payah.

Searas dengan presiden, sejumlah pakar politik berspekulasi pelaku memakai momentum pasta-pemilu untuk menggoncang politik nasional. Lawan-lawan politik presiden dalam pemilu 2009 segera menganulir pernyataan presiden dan mendaku kesantunan politik. Aparat keamanan melihat jejak keterkaitan antara tindakan anti-kemanusiaan pelaku peledakan bom terakhir dengan waktu-waktu sebelumnya. Sanggahan segera muncul dari mereka yang telah keluar dari Jamaah Islamiyah mengenai keterlibatan mantan organisasinya. Beberapa analis terorisme menyebut ledakan sebagai pengingat akan keberadaan Jamaah Islamiyah.4 Al¬Qaeda yang meminjam tangan Jamaah Islamiyah di Indonesia mencari panggung teror yang merepresentasikan simbol Barat sekaligus berefek gaung global kuat.

Kajian lain berfokus pada psikologi pelaku dan politik terornya dalam latar global. Aparat keamanan menggambar sketsa pelaku yang barangkali mendekati stereotipe dengan rujukan pelaku-pelaku serangan-serangan bom sebelumnya. Pelakunya miskin, pendiam, dan taat beribadah. Kepala Staf Kodam IV/Diponegoro Brigjen TNI Langgeng Sutiyono memperjelasnya dengan situasi budaya, pendidikan, dan ekonomi yang melatarbelakanginya.

“Kultur masyarakat, tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi yang masih rendah di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadikan mereka mudah dipengaruhi oleh paham-paham yang diajarkan para teroris. Tetapi mereka beroperasi di luar daerah itu. Namun para aktor teror masih memilih DIY dan Jateng menjadi pusat kegiatan mereka.”

Gambaran psikologis pelaku berserta latar belakang sosial, pendidikan, ekonomi dan budaya membantu kita untuk mengarsir sketsa wajah pelaku. Studi-studi terkini yang menitikberatkan latar belakang pelaku teror di berbagai negara justru menunjukkan bahwa asal pelaku jaringan teroris dari ekonomi bawah dan pendidikan rendah lebih merupakan stereotipe daripada realitas. Stereotipe terhadap pelaku ini cenderung berulang dengan akibat penyempitan pandangan terhadap pelaku dan salah arah dalam kebijakan publik. Kehati-hatian hendaknya terjaga terutama saat dalam kasus teror bom kita kebetulan mendapati pelaku memeluk agama Islam dalam kartu tanda penduduknya. Sampai sejauh ini aparat keamanan mensinyalir keterlibatan pelaku dari luar negara Indonesia dalam aksi teror bom. Informasi ini membantu kita untuk menyadari teror born barangkali memiliki target politik yang melampaui ruang lingkup nasional. Aksi teror mereka boleh jadi berkaitan dengan aksi-aksi teror serupa di wilayah geografi lain dengan agenda menggoncang panggung politik global.

Aparat keamanan yang terus memburu jaringan teroris menyadari kebutuhan untuk lebih memahami akar-akar terorisme dan jalan-jalan penyelesaian yang melampaui penahanan pelaku secara hukum. AM. Hendropriyono, mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN), menawarkan bingkai pemahaman terorisme sebagai ‘produk perbenturan global antara liberalisme demokrasi dan fundamentalisme agama. Pencarian serupa juga terungkap dari Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Inspektur Jenderal (Purn) Ansyaad Mbai. Ia mengungkapkan perlunya pendekatan komprehensif terhadap terorisme saat bertutur, “Terorisme tidak bisa diselesaikan dengan penegakan hukum saja. Setelah itu apa? Apa yang harus diperbuat terhadap mantan napi terorisme? Sejak lama sudah banyak yang bicara soal pentingnya deradikalisasi, mengatasi sejak dari bibitnya, tetapi itu tidak menarik perhatian dibandingkan penegakan hukum terhadap teroris yang lebih heboh.”

Para wakil agama berulangkali mendapat acungan pertanyaan dari masyarakat mengenai hubungan antara agama dan teror kekerasan. Istilah-istilah rakitan populer, seperti ‘teror atas nama Allah’, ‘teror suci’, ‘perang suci’, ‘perang salib’, ‘laskar Allah’, ‘Islam teroris’, dan ‘Barat kafir’ mengesankan relasi erat keduanya. Padahal istilah-istilah tersebut sesungguhnya mengidap pertentangan internal (contradictioin terminis) sehingga pelekatannya mengidap persoalan serius. Searas dengan John L. Esposito, saya melihat kebutuhan ‘tulisan edukatif’ agar pembaca semakin memasuki sisi dalam agama dan terorisme, dan melihat pertentangannya.” Refrain yang sering muncul dari tutur pemuka agama yang menolak pertautan agama dan teror kekerasan memerlukan keterangan baik dari kedalaman maupun keluasannya. Penderitaan korban teror bom mendorong saya untuk menafsirkan ulang dan mendialogkan sila pertama Pancasila, ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, syahadat ‘Tiada Tuhan Selain Allah’ dalam Islam, dan credo ‘Aku Percaya akan Satu Allah’ dalam agama Kristen. Saya membongkar kedok ilah kekerasan yang pelaku teror bom mengakunya sebagai Allah. Saya mendobrak kemalasan, apalagi tabu akademik untuk membicarakan ilah kekerasan di era teror. Jaringan teroris yang mengaku menerima inspirasi dari Allah sejatinya menggagahi kehidupan Allah dan Allah kehidupan.

Saya menyambut undangan Paus Benedictus XVI agar para pengikut Yesus menggali makna syahadat ‘Aku percaya akan satu Allah’ dalam konteks sekarang. Paus menangkap dua kesalahpahaman yang sering berulang setiap kali komunitas Kristen berbicara tentang Allah. Kesalahpahaman pertama, sebagian memandang pertanyaan tentang Allah sekadar teoritis yang pengaruhnya pada dunia atau kehidupan pribadi nol. Kesalahpahaman kedua, mereka membicarakan Allah untuk menekuk lutut orang lain di bawah kaki rezim kekuasaan. Paus mengundang pengikut Yesus untuk membaca Kitab Suci untuk melihat perbedaan dunia di bawah Allah dan dunia dalam cengkeraman ilah. Pengakuan komunitas beriman akan ke-esaan Allah menyingkapkan relasi mereka sebagai ciptaan dengan penciptanya. Ia mengembalikan aspek doa dari pernyataan iman ini saat manusia mempercayakan dirinya kepada Allah. Tanda pribadi yang mengenal Allah adalah penghormatannya pada kehidupan sesama manusia dan ciptaan-ciptaan Allah lainnya.

Saya menangkap gerak ayunan pendalaman sekaligus pendangkalan pasca-tragedi teror kemanusiaan. Media massa menghantar kita pada jejak teroris, bahkan sampai jalan rekruitmen keanggotaan mereka dan jenis senjatanya. Kita juga mendengar pemuka agama mengoreksi pandangan kaum teroris yang menghubungkan aksi anti-kemanusiaannya sebagai tindakan religius. Pendangkalan terhadap keseriusan persoalan bahkan kelihatan dalam kesembronoan dalam penggunaan bahasa. Teror bom, yang berkaitan dengan luka dan kematian korban, kehilangan makna ketika kita merakit istilah-istilah dengan awalan atau akhiran ‘bom’. Dunia bisnis, misalnya, mengambil peristiwa ini untuk menelorkan istilah ‘bom hadiah’ sehingga bom terlucuti dari arti aslinya. Pendangkalan juga berlangsung di ruang agama yang mengaitkan Islam dengan teroris dan Barat dengan peradaban kafir. Percakapan sehari-hari kita pun seringkali menyambungkan bom atau teror sebagai pembicaraan sambil lalu, gurauan, bahkan keisengan. Kita sepintas mendiskusikan isunya, padahal sejatinya mendangkalkannya. Pendangkalan berakibat masyarakat memandang tragedi teror bom sebagai hiburan kriminal belaka.

Gagasan awal saya mengenai kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di tengah situasi tenor anti-kemanusiaan adalah sebagai berikut, wacana agama di tengah situasi teror hendaknya semakin menempatkan korban dalam hati pembicaraan. Ia peduli dengan penderitaan korban dan komunitas Muslim yang menjadi target mudah sebagai kambing hitam pasta-teror bom. Pemilahan antara korban dengan pelaku teror bom penting karena pelaku jarang mengakui diri sebagai teroris. Mereka melihat diri sebagai korban teror rezim kekuasaan lain dan melancarkan serangan balasan demi membela keberlangsungan hidupnya. Mereka seringkali menyembunyikan identitas mereka sebagai pelaku dengan mengenakan pakaian agama dan mengangkat tindakan anti-kemanusiaan pada tingkat kesucian. Jaringan teroris menyembah ilah kekerasan yang merusak kehidupan, bahkan mengarak kematian dini korbannya. Hidup beragama yang benar di tengah-tengah teror menampilkan Allah kehidupan sebagai Allah para korban. Jakarta dan New York kemudian menjadi kota-kota simbolis untuk memperhatikan latar nasional sekaligus global dalam memahami persoalan ini.

Tulisan mulai dengan mendengarkan tuturan penderitaan korban teror bom. la mempertanyakan pelabelan politik religius Islam dengan teroris dan Barat dengan kekafiran. Pendefinisian terorisme, teroris, dan korban teroris kemudian membutuhkan kehatian-kehatian agar terhindar dari perangkap pelabelan politik-religius yang dipasang penciptanya. Pendefinisian terorisme, dan pemilahan antara korban dan pelaku teroris berlangsung dengan membedah paham kebertuhanan subyek-subyek yang terlibat dalam wacana. Penderitaan korban dan goncangan ketakutan yang melampaui batas negara yang menjadi lokasi bom menyingkap politik teror pelaku. Kisah korban dan Kitab Suci memberi tahu kita mengenai keberadaan ilah kekerasan. Selain menuturkan penderitaan, korban hidup atau keluarga korban juga menyingkap sosok Allah di tengah tragedi. Saya juga mendengarkan kesaksian Kitab Suci Kristen mengenai Allah kehidupan yang berkonfrontasi dengan ilah kematian. Teror anti-kemanusiaan pelaku pengeboman melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan religius bersama. Jaringan teroris anti kemanusiaan menyembah ilah kekerasan, sedangkan jejaring bela rasa untuk korban teroris anti-kemanusiaan memeluk Allah perdamaian. Hidup pribadi-pribadi yang memeluk Allah Yang Maha Esa di era teror berarti juga merengkuh Allah yang membela kehidupan korban dan menolak ilah kekerasan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer widget