Club Cooee

Selasa, 27 September 2011

Jenis-Jenis Sastra Hikmat

Biasanya ada dua jenis utama tulisan hikmat yang dapat dibedakan, yaitu:
a. hikmat dalam bentuk peribahasa, ucapan singkat dan penuh arti yang menyatakan ketentuan untuk mendapatkan kebahagiaan pribadi dan kesejahteraan atau yang meringkaskan pengalaman dan membuat pengamatan yang tajam mengenai kehidupan; dan

b. hikmat spekulatif yang bersifat perenungan atau pikiran, berupa monolog, dialog atau karangan yang menyelidiki masalah-masalah pokok tentang keberadaan manusia, seperti arti kehidupan dan masalah penderitaan.

Istilah “renungan” di sini kiranya jangan ditafsirkan secara mistis atau filosofis. Orang bijak pada zaman kuno tidak mementingkan teori melainkan bersifat praktis dan yang mereka bahas bukan masalah-masalah yang abstrak tetapi contoh-contoh nyata, misalnya “Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub” (Ayb 1:1).

a. Hikmat dalam bentuk amsal
Sejak awal orang yang berakal budi dan bijak telah menciptakan dan mengumpulkan ucapan-ucapan bijaksana mengenai kehidupan, seperti amsal, peribahasa dan sebagainya. Kalangan terpelajar dalam masyarakat kuno menggunakan ucapan-ucapan ini untuk mengajar murid-murid mereka dan sebagai petunjuk bagi orang yang mencari nasihat dan bimbingan. Salah satu tanda kebesaran seseorang tokoh adalah kemampuannya untuk menyampaikan hikmat dalam bentuk peribahasa atau memperdayakan musuhnya dengan perkataan yang cerdik. Misalnya, raja-raja menggunakan teknik-teknik hikmat dalam pemberitahuan resmi (contoh: “Orang yang baru menyandangkan pedang janganlah memegahkan diri seperti orang yang sudah menanggalkannya”, 1 Raj 20:11).3

Asal mula amsal tidak diketahui lagi, tetapi banyak kawasan kehidupan tentu memberi sumbangsih pada perkembangannya. Amsal-amsal yang paling awal dimaksudkan untuk diteruskan secara lisan, bukan tertulis, dan tulisan-tulisan hikmat sering mempertahankan tekanan yang bersifat lisan ini. Kitab Amsal, misalnya, jauh lebih menekankan hal mendengar ajaran daripada membaca (lihat Ams 1:8; 4:1, dll.). Tetapi sejak awal sekali ucapan-ucapan hikmat, terutama di Mesopotamia, tampaknya dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan agama dan ilmu gaib. Lambert (1960: hlm. 1) menunjukkan bahwa di Babel biasanya “hikmat” ada hubungannya dengan keahlian dalam pengetahuan agama dan ilmu gaib, dan isinya tidak menyangkut coal moral; orang bijak adalah orang trampil yang dapat memperoleh apa yang is inginkan dari dewa-dewa.

Beberapa orang menelusuri asal-usul ucapan hikmat hanya pada kegiatan agama, tetapi faktor-faktor lain seperti perniagaan dan politik tampaknya juga turun berperan (lihat Bentzen 1948,1: him. 174-177). Sebenarnya, dengan gejala yang begitu meluas dan kuno, kita harus waspada terhadap pandangan yang terlalu menyederhanakan, karena tampaknya sudah menjadi kebiasaan bagi manusia untuk berusaha bersifat mengamati kehidupan dengan teratur.

Dokumen paling awal mengungkapkan bentuk-bentuk ucapan hikmat yang sudah sangat berkembang, terutama di Mesir. Di sana orang bijak cenderung menggunakan paragraf untuk mcmbahas satu tema, bukan pernyataan-pernyataan ringkas, yang tidak bergantung satu sama lain dan sering berupa kiasan-kiasan. Perhatikan Petunjuk-petunjuk Perdana Menteri Ptah-hotep:

“Janganlah kamu angkuh karena pengetahuanmu; janganlah merasa yakin karena engkau seorang bijak. Mintalah nasihat kepada orang bodoh dan juga kepada orang bijak. Batas-batas keahlian tidak dapat dicapai, dan tidak ada ahli yang diperlengkapi sebaik-baiknya. Perkataan yang baik lebih tersembunyi daripada jamrut, tetapi dapat ditemukan di antara pembantu-pembantu di tempat penggilingan …” (ANET: him. 412).

“Petunjuk-petunjuk” ini mungkin harus dikelompokkan sebagai ketentuan-ketentuan dan nasihat-nasihat, bukan amsal dalam arti teknis. Ada petunjuk semacam itu yang berasal dari Babel dan menggolongkannya ke dalam masa Kassit (1500— 1100 sM). Judulnya Nasihat-nasihat hikmat, dan isinya nasihat tentang pokok-pokok seperti menghindari pergaulan dengan orang jahat, berbuat baik kepada orang-orang yang miskin, jangan menikah dengan budak perempuan dan kewajiban-kewajiban serta manfaat-manfaat agama:

“Kendalikanlah mulutmu dan jagalah perkataanmu:
Di dalamnya ada kekayaan orang
— jadikanlah bibirmu sangat berharga.
Bencilah keangkuhan dan penghujatan;
Janganlah berbicara mengenai hal-hal yang najis atau dusta.
Terkutuklah si tukang dongeng.
……………..
Janganlah membalas orang yang berselisih denganmu;
Balaslah orang-orang jahat dengan kebaikan,
Pertahankanlah keadilan terhadap musuhmu,
Tersenyumlah kepada lawanmu.
……………..
‘Budak perempuan mengacaukan rumah yang dikuasainya.’
……………..
Beribadatlah kepada dewamu setiap hari.
Persembahan dan berkat adalah teman sesajen yang tepat.
Berikanlah persembahanmu yang tulus kepada dewamu.
Karena hal ini baik di hadapan dewa-dewa
(Lambert 1960: him. 96-107).

Cuplikan-cuplikan ini menggambarkan sifat-sifat sastra hikmat Timur Tengah kuno yang benar-benar bersifat praktis, etis dan religius. Kutipan di atas agak mirip dengan pengajaran Amsal 1 — 9, dan hal ini merupakan peringatan agar kita tidak dengan mudah menganggap pasal-pasal yang lebih panjang dan tersusun baik berasal dari masa yang lebih kemudian daripada bagian-bagian yang lain dari Kitab Amsal.

Banyak amsal dan ucapan populer yang singkat terdapat dalam naskah-naskah dari Sumeria, Babel dan Asyur. Ucapan populer beredar di tengah-tengah orang-orang awam dan kadang-kadang lebih dimaksud¬kan sebagai hiburan daripada nasihat-nasihat moral. Dari masa Asyur kemudian (kira-kira tahun 700 sM), berasal banyak ucapan yang menyerupai dongeng, yang berpusat pada kegiatan dan percakapan binatang dan serangga. Contoh:

“Laba-laba memintal sarang untuk seekor lalat.
Cecak terperangkap
Masuk ke sarangnya, celakalah laba-laba!
Seekor nyamuk yang hinggap di atas seekor gajah,
Berkata, ‘Sobat, apakah aku menindihmu?
Aku akan melarikan diri di tempat minum.’
Gajah itu menjawab kepada nyamuk,
‘Aku tidak peduli apakah kamu naik ke atasku,
Juga aku tidak peduli jika kamu turun
— Engkau bukanlah beban!”‘ (Lambert 1960: hlm. 217,219).

Dongeng Akkad yang lebih panjang dan lebih dikembangkan menceritakan perdebatan antara pohon korma dan tamarisk (sejenis semak yang tetap berdaun pada musim gugur). Masing-masing menganggap dirinya lebih berguna untuk raja: pohon korma berguna karena buahnya dan dapat memberi keteduhan, tamarisk berguna karena kayu dan daun-daunnya.5

Perbedaan antara ucapan populer dan amsal tidaklah jelas. Keduanya menggunakan pengamatan dari alam dan berisi nasihat atau petunjuk moral. Istilah “amsal”, sebagaimana digunakan di sini, mengacu pada peribahasa yang singkat, padat dan mengena, biasanya terdapat dalam suatu rangkaian, tetapi tetap berdiri sendiri. Dalam tulisan-tulisan Mesopotamia, amsal biasanya terdapat dalam bentuk dwibahasa, yang ditulis pada kolom sejajar dalam bahasa Sumer dan Akkad. Contoh:

“Siapa yang kaucintai — beban(nya) kautanggung.
……………..
Melihat kelakuanmu yang jahat terhadap temanmu,
apa yang akan kaulakukan terhadap musuhmu?
………………
Bangsa tanpa raja sama seperti domba tanpa gembala.
Akankah kautaruh sebongkah tanah liat
di tangan orang yang melemparnya?
………………..
Apakah orang menjadi hamil tanpa persetubuhan?
Apakah orang menjadi gemuk tanpa makan?’
………………..
Tahun lalu kumakan bawang putih; tahun ini perutku terbakar.
(Lambert 1960: hlm. 230,232,235,247,249).

Ucapan-ucapan dari Mesopotamia kuno ini menggambarkan sifat nyata dalam pemikiran dunia Timur. Pengamatan tentang hidup diungkapkan dalam istilah-istilah yang sederhana mengenai benda-benda, makhluk, dan pengalaman, dengan sedikit sekali bentuk abstrak atau teoretis. Amsal dan ucapan popular memang segar dan menarik, dengan pesan-pesannya yang kuat dan tepat. Untuk menggambarkan hal ini, bandingkanlah peribahasa Indonesia “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” dengan peribahasa Arab “dua ekor anjing membunuh seekor singa”, atau pepatah Inggris familiarity breeds contempt (keakraban mengakibatkan sikap kurang menghargai) dengan amsal Yahudi “Orang miskin merasa lapar tetapi tidak mengetahuinya” (Paterson 1954: hlm. 12-13). Contoh lain mengenai sifat kongkret dan realistic . dari amsal¬amsal Israel adalah:

“Isteri yang cakap adalah mahkota suaminya,
tetapi yang membuat malu adalah seperti penyakit
yang membusukkan tulang suaminya.” (Ams 12:4)

“Seperti anting-anting emas di jungur babi,
demikianlah perempuan cantik yang tidak susila.” (Ams 11:22)

“Suatu hardikan lebih masuk pada orang berpengertian
dari pada seratus pukulan pada orang bebal.” (Ams 17:10).

Amsal dalam setiap bahasa sering terasa nyata (kongkret), misalnya “seekor burung di tangan lebih berharga daripada dua ekor burung di semak” dan “orang yang hidup di rumah kaca tidak boleh melemparkan batu”, dan amsal-amsal Ibrani dan Semit hampir selalu begitu sifatnya.

Apa yang membuat suatu amsal itu efektif? Mengapa beberapa amsal bertahan sampai berabad-abad sedangkan yang lain terbuang? Trench (1857), seorang ahli Alkitab yang terkenal dari abad lalu, mendaftarkan empat syarat untuk amsal yang berhasil:
a. ringkas – agar mudah diingat;
b. jelas – artinya harus dimengerti dengan segera;
c. tajam – supaya melekat pada ingatan; dan
d. populer – sering diulang-ulang dan diteruskan dari generasi ke generasi.8

Hikmat spekulatif
Manusia kuno sama seperti manusia modern diganggu oleh masalah-masalah kehidupan yang menekan. Apakah kehidupan memiliki tujuan yang nyata? Mengapa orang baik kadang-kadang menderita, sedangkan orang jahat tidak terganggu? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu ditanggapi dalam tulisan-tulisan hikmat dari Mesopotamia dan Mesir.

Dari masa Kassit di Mesopotamia muncul monolog seorang penderita yang merasa tertekan oleh kehidupan, yang diberi nama menurut baris pembukaannya, Ludlul Bel Nemeqi (‘Aku akan memuji Tuhan yang bijaksana’, yakni Marduk, kepala dewa di Babel). Puisi aslinya tampaknya memiliki sekitar 400 atau 500 baris, yang sudah ditemukan dalam tiga lembaran dan ada juga lembaran keempat yang bahannya mungkin dapat dihubungkan dengan itu (Lambert 1960: hlm. 33-61). Ketika teks-teks itu pertama kali terbaca, penulisnya sedang mengeluh karena merasa ditinggalkan oleh dewa-dewanya:

Dewaku telah meninggalkan aku dan menghilang,
Dewiku telah melupakanku dan menjauh.
Malaikat yang baik hati yang (berjalan) di sampingku telah pergi,
Roh yang melindungiku telah terbang,
dan mencari orang yang lain lagi.
Kekuatanku hilang; penampilanku menjadi suram;
Harkatku lenyap, perlindunganku lari. (1:43-48)

Penolakan ilahi diikuti dengan rasa apatis atau kebencian dari teman-temannya, para pengagum dan budak-budaknya:

“Aku, yang dulu melangkah sebagai seorang bangsawan, telah belajar melewati tanpa diperhatikan.
Walaupun pejabat tinggi, aku telah menjadi budak.
Di hadapan rekan-rekanku, aku seperti seorang petapa. Jika aku berjalan-jalan, telinga orang mendengar;
Jika aku memasuki istana, mata orang berkedap-kedip.
………….
Temanku telah menjadi musuh,
Rekanku telah menjadi orang hina dan jahat.
………….
Sahabat karibku membahayakan hidupku;
Budakku mengutukiku di perkumpulan umum.”
(1:77-81,84-85,88-89)

Tidak hanya ditolak oleh mereka yang dipercayainya baik di surga maupun di bumi, si penderita juga diserang oleh penyakit-penyakit jasmani. Upacara tradisional atau penycmbuhan secara gaib tidak melegakannya, dan ia bertanya-tanya mengapa para dewa memper-lakukannya seperti orang jahat:

“Ramalan ahli nujum tidak sampai ke akar masalah,
Impian imam dengan kurban curahannya pun tidak menjelaskan perkaraku.
Aku mencari dukungan dari roh zaqiqu, tetapi dia tidak memberi keterangan kepadaku;
Dan mantra imam dengan upacaranya tidak meredakan amarah ilahi terhadapku.
…………….
Siapa yang mengetahui kehendak para dewa di surga?
Siapa yang mengerti rencana para dewa dalam dunia orang mati?
Di manakah manusia belajar tentang cara-cara dewa?

Dia yang kemarin hidup, sekarang mati.
Sejenak ia dikecewakan, tiba-tiba ia merasa sangat gembira.

Suatu saat orang-orang bernyanyi dengan sorak ria
Pada kesempatan lain mereka merintih seperti orang yang meratap pada waktu perkabungan.
………………
Bagiku, orang yang letih lesu, badai sedang menimpaku! Penyakit yang melemahkan dibiarkan menyerangku:
Patungku yang hebat mereka hancurkan seperti menghancurkan tembok,

Badanku yang kuat mereka tindih seperti menindih semak-semak.
Aku dilemparkan seperti tanaman yang berlumpur dan jatuh tertelungkup.” (11:6-9,36-42,49-50,68-70)

Teks ini diakhiri dengan serangkaian impian yang mengubah keadaan tragis si penderita dan memperlihatkan bahwa kemarahan Marduk telah diredakan:

“Tangannya berat menimpaku, aku tidak dapat menahannya.
Ketakutanku terhadap dia sangat menggelisahkan.
…………..
Ketiga kalinya aku bermimpi,
Dan dalam mimpi malamku kulihat
…….seorang wanita muda dengan wajah bersinar,
Seorang ratu dari………….., sama dengan seorang dewi.
………….
Ia berkata, ‘Terlepaslah dari keadaanmu yang malang,
Barangsiapa yang telah melihat penglihatan pada waktu malam.’
…………
Setelah pikiran Tuhanku menjadi tenang
Dan hati Marduk yang penuh belas kasihan diredakan.
…………
Ia membuat angin yang menghilangkan pelanggaranku.”
(III:1-2,29-32,37-38,50-51,60)

Walaupun karya ini sering disebut “Ayub dari Babel”, namun pengarangnya tidak berusaha menyclidiki soal tentang mengapa orang benar menderita. Lagi pula, tekanan tentang agama dan ilmu gaib, roh¬roh jahat sebagai pembawa kesusahan, dan pembawa kesembuhan dalam mimpi, semuanya berbeda sekali dengan Ayub, karena dalam kasus Ayub Allahlah yang bertanggung jawab, baik untuk penderitaannya maupun untuk pemulihannya. Akhirnya Ayub diperhadapkan dengan Allah yang hidup dan karena itu belajar untuk menerima keadaannya yang menyedihkan, sedangkan pengarang Ludlul menggambarkan dengan panjang lebar tahap-tahap pemulihannya. Hubungannya dengan Marduk tidak ditelusuri, sedangkan hubungan antara Allah dan Ayub merupakan kunci cerita Alkitab itu.

Tulisan-tulisan hikmat kuno kadang-kadang ada juga dalam bentuk dialog, seperti Teodiki Babel, suatu sanjak akrostik dengan 27 stanza yang masing-masing terdiri dari 11 baris. Menurut Lambert (1960: hlm. 63-91), sanjak ini ditulis kira-kira tahun 1000 sM. Isinya sebuah percakapan antara seorang penderita yang mengeluh tentang ketidakadilan social dan temannya yang mencoba untuk menyelaraskan hal ini dengan pandangan tradisional mengenai keadilan ilahi.

Si penderita yang kehilangan orang tua pada usia sangat muda, bertanya-tanya mengapa dewa-dewa tidak melindunginya, melainkan memberi dukungan dan perlindungan secara tidak adil kepada kakaknya yang paling tua. Temannya menanggapi bahwa kesalehan akan membawa kemakmuran:

“Dia yang melayani dewanya memiliki malaikat pelindung,
Orang rendah hati yang takut akan dewinya akan mengumpulkan kekayaan.”

Si penderita membalasnya dengan memberi contoh-contoh di mana prinsip ini tidak selalu berlaku dalam masyarakat maupun alam. Tetapi temannya yakin bahwa semua penyalahgunaan keadilan akan diperbaiki dan mendorong si penderita untuk mempertahankan kesalehan dan kesabarannya. Si penderita melanjutkan pembelaan dirinya yang meng¬alami ketidakadilan, bahkan berkata bahwa keadaannya yang mengerikan terjadi karena pengabdiannya pada agama:

“Aku melihat ke sekeliling masyarakat, tetapi buktinya bertentangan.
Sang dewa tidak menghalangi jalan si iblis.
Seorang ayah menycret perahu di sepanjang terusan,
Pada saat anak sulungnya berbaring di tempat tidur.
………………
Ahli waris berjalan perlahan-lahan sepanjang jalan seperti penggertak,
Anaknya yang lebih kecil memberi makan pada orang miskin.

Apa untungnya bila aku sujud menyembah dewaku?
Aku harus menyerah di bawah kaki orang bebal,
Sampah masyarakat, seperti orang kaya dan makmur, memandang rendah terhadap diriku.” (243-246, 249-253)

Teman, yang rupanya agak terkesan oleh alasan-alasan itu, berkata bahwa jalan para dewa penuh rahasia dan tak dapat diketahui:

“Pikiran ilahi, seperti pusat langit, jauh sekali;
Pengetahuan tentang hal itu sulk;
orang awam tidak mengetahuinya.” (256-257)

Akhirnya, si penderita dan temannya itu tampaknya sependapat bahwa dewa-dewa bertanggung jawab untuk ketidakadilan manusia, karena mereka membuat manusia dengan kecenderungan ke arah ini. Temannya itu mengakui bahwa dewa-dewa:

“Memberikan ucapan yang menyeleweng kepada umat manusia,
Dusta, bukan kebenaran, mereka berikan untuk selama-lamanya.

Dengan sungguh mereka memuji orang kaya,
‘Ia seorang raja’, kata mereka, ‘kekayaan ada padanya.’

Tetapi mereka melukai seorang miskin seperti pencuri,
Mereka memfitnahnya dan berencana untuk membunuhnya,

Ia dibuat sangat menderita seperti seorang penjahat
karena is tidak mempunyai perlindungan.

Dengan cara yang mengerikan, mereka menghabisinya,
dan memusnahkannya seperti memadamkan kobaran api
(279-286).

Orang yang menderita itu menutup pembicaraannya dengan menegaskan kembali keadaannya dan memohon kelegaan.

Dialog itu berakhir tanpa menjawab persoalan. Tanggung jawab atas kelakuan manusia yang jahat dihadapkan langsung pada para dewa, tetapi beberapa pokok yang penting ditutup-tutupi. Apakah jawaban akhirnya ialah bahwa para dewa tidak adil? Jika demikian, apa tanggung jawab manusia atas perbuatan mereka? Di sini tampak jelas perbedaan puisi ini dengan pendekatan Ayub terhadap masalah penderitaan atau ketidakadilan. Dalam Alkitab campur tangan Allah memberi pemecahan, dan walaupun kebenaran-Nya mungkin dipertanyakan, namun kebenaran itu akhirnya dipertahankan.

Dari masa selanjutnya timbul Dialog Babel mengenai Pesimisme, yang biasanya ditentukan berasal pada tahun 500 —1000 sM Dialog seorang tuan dengan budaknya ini mengikuti suatu pola yang sederhana: sang tuan memberi tahu budaknya tentang rencananya untuk menikmati semacam rekreasi atau kesenangan. Budak itu menjawab dengan menggarisbawahi manfaat rencana itu. Kemudian secara tiba-tiba sang tuan memutuskan untuk tidak melaksanakan rencananya. Dengan segera budaknya mem¬berikan alasan yang kuat dan meyakinkannya untuk tidak mengikuti ren¬cana

“Budak, dengarkan aku”. “Ya, tuan, hamba di sini”.
“Cepat, ambilkan kereta kuda dan siapkan supaya aku dapat memakainya untuk pergi ke alam terbuka”.
“Pergilah, tuan. Seorang pemburu segera mengisi perutnya.
Anjing pemburu akan mematahkan tulang (mangsanya),
Elang pemburu akan menjadi tenang,
Dan keledai liar yang berlari cepat . . . ”
“Tidak, budak, aku sama sekali tidak akan pergi ke alam terbuka”.
“Jangan pergi, tuan, jangan.
Keberuntungan pemburu berubah:
Gigi anjing pemburu akan tanggal,
Rumah elang pemburu ada di dalam [...] tembok,
Dan keledai liar yang berlari cepat pergi ke dataran tinggi untuk bersembunyi”. (17-28)
…………
“Budak, dengarkan aku”. “Ya, tuan, hamba di sini”.
“Aku akan mencintai seorang perempuan”.
“Cintailah, tuan, cintailah. Seorang laki-laki yang mencintai
seorang perempuan lupa akan kesedihan dan ketakutan”. “Tidak, budak, aku sama sekali tidak akan mencintai
seorang perempuan”.
“Jangan mencintai, tuan, jangan.
Perempuan adalah jurang, lubang, parit.
Perempuan adalah pilau belati besi yang tajam,
yang memotong leher laki-laki”. (46-52)

Hampir seperti dalam Kitab Pengkhotbah, berbagai kemungkinan untuk kegiatan dan kesenangan disarankan dan kemudian disingkirkan. Tidak satu pun yang tampaknya bermanfaat bagi tuan itu, yang kehilangan gairah untuk hidup. Namun kesimpulannya berbeda jauh dengan kesim¬pulan Pengkhotbah dalam Perjanjian Lama:
“Budak, dengarkan aku,” “Ya, tuan, hamba di sini”.
“Sekarang, apa yang baik?”
“Bila seseorang memutuskan leherku dan lehermu
Dan melemparkan kita ke dalam sungai, itulah yang baik.
‘Siapa yang begitu tinggi sehingga dapat naik ke langit?
Siapa begitu lebar sehingga dapat melintasi dunia orang mati?”‘
“Tidak, budak, aku akan membunuhmu dan mengirimmu dulu”. “Dan tuanku tentu saja tidak dapat hidup tanpa pelayananku
tiga hari lagi”. (79-86)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer widget