Club Cooee

Senin, 26 September 2011

Krisis Perbankan Di Berbagai Dunia

Dunia perbankan di berbagai belahan dunia ini tampaknya selalu diancam oleh berbagai krisis, antara lain krisis kredit macet atau yang lazim disebut sebagai debt crisis. Hal ini dapat dipahami karena dunia perbankan adalah suatu kegiatan usaha yang selalu melayani dan hidup dalam kesatuannya dengan kegiatan ekonomi nyata di masyarakat manapun. Kebanyakan krisis perbankan juga berkenaan dengan krisis kegiatan ekonomi bangsa-bangsa di dunia yang sekarang ini sudah saling menjalin kerja sama.

Penulis Darrell Delamaide, dalam bukunya Debt Shock, memberikan suatu ilustrasi yang menarik dari krisis perkreditan yang sesungguhnya. merupakan krisis perbankan, di mana sumber dananya berasal dari dunia perbankan yang mengalami suatu kondisi khusus berupa perubahan aliran dana akibat krisis energi. Debt crisis tersebut, menurut Darrell, dimulai ketika Pemerintah Meksiko pada tanggal 20 Agustus 1982 mengumumkan bahwa Meksiko tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit yang telah jatuh tempo kepada perbankan internasional. Jumlah hutang Meksiko yang jatuh tempo adalah sekitar US$10.000.000.000,00 atau sekitar Rp100.000.000.000.000,00 pada kurs US dolar sebesar Rp10.000,00 atau sekitar dua kali lipat total hutang luar negeri Indonesia. Harap dicatat bahwa hutang Meksiko ini adalah jumlah yang sudah jatuh tempo saja, bukan outstanding hutang yang jumlahnya lebih besar.

Seperti sikap debitur pada umumnya, terutama yang menghadapi situasi tersebut, Meksiko juga meminta berbagai fasilitas baru terutama untuk melancarkan usaha penjualan produksi ekspornya. Beruntung bahwa Meksiko adalah anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang menghasilkan minyak bumi cukup besar sehingga dalam waktu hanya 72 jam, di bawah pimpinan Pemerintah Amerika Serikat, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum. Meksiko memperoleh suntikan dana sebesar hampir US$4 miliar dari perbankan Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat sendiri. Alasan kuat diberikannya bantuan baru ini, yaitu karena krisis akan mengancam stabilitas sistem moneter dunia.

Krisis yang dialami Meksiko ini tampaknya segera memunculkan krisis lainnya, yakni krisis hutang di Brasil, Argentina, Venezuela, dan pada akhirnya hampir di seluruh Amerika Latin. Kebetulan, pada saat itu sedang terjadi krisis politik dan ekonomi di negara Eropa Timur yang juga mempunyai hutang kepada negara-negara Eropa Barat. World Bank juga mengkhawatirkan nasib dari hutang seluruh negara berkembang sebesar US$529 miliar.

Sebenarnya, krisis moneter dunia ini juga diperparah oleh defisit anggaran belanja negara-negara besar seperti Amerika Serikat antara periode tahun 1973-1982 sebesar US$460 miliar. Sementara itu, keseluruhan defisit dari negara maju (OECD) sendiri mencapai jumlah US$1,25 triliun. Karena magnitude dari jumlah dana yang tersangkut ini demikian besar, maka sudah dapat dibayangkan bahwa sistem moneter dunia termasuk sistem perbankan dunia — akan segera runtuh. Sekurang-kurangnya, orang mengakui bahwa ternyata sistem keuangan dunia sangat rentan terhadap gangguan krisis di suatu wilayah dunia dan ganguan ini biasanya berasal dari reksa pemerintahan yang kurang bijaksana.

Sebelum melakukan koreksi dan tindakan penyelamatan, maka para ahli moneter terkemuka dan para petinggi dunia, terutama dari negara-negara industri, mengkaji sebab-musabab dan asal-muasal krisis keuangan dunia ini. Darrell Delamaide (1985: 26) menyatakan:

There was no mystery in the credit crisis once it came. The causes were clear. Some analyses delved more deeply into underlying economic factors, but there was a con-sensus about the immediate causes in the developing country debt crisis. These were the prolonge recession in the wake of the second oil sock in 1979, the high level of interest rates, and sharp downward swing in volatile commodities prices.

Pada bagian lain, Darrell menyatakan bahwa krisis itu terjadi karena nilai hutang terlalu besar dan hutang ini adalah akumulasi dari berbagai fasilitas yang diberikan perbankan internasional kepada negara-negara berkembang.

Darrell memang menitikberatkan penyebab krisis ini berkaitan dengan kenaikan harga minyak oleh OPEC, meskipun sebab-sebab lain juga diakui. Pendapat ini tentu tidak konsisten bila dihadapkan pada kenyataan bahwa yang menjadi korban krisis adalah justru negara penghasil minyak seperti Meksiko dan Venezuela. Seharusnya kedua negara Amerika Latin ini menikmati rezeki dari meningkatnya harga minyak dunia sehingga pembangunan ekonomi dapat berjalan lebih lancar dari biasanya.

Pertanyaan lain muncul, yakni mengapa negara-negara maju yang defisit anggaran belanjanya sangat besar, dalam waktu yang singkat dapat menyesuaikan teknologi untuk menghemat energi minyak bumi dan menyelesaikan masalah keuangannya, bahkan menggeser beban keuangan yang dipikulnya kepada negera-negara berkembang, baik negara-negara OPEC (penghasil minyak bumi) maupun NOPEC (bukan penghasil minyak bumi). Jawabannya terletak pada kematangan reksa pemerintahan dari negara-negara maju tersebut.

Tidak mungkin teknologi dan budaya hemat energi ditumbuhkan bila reksa pemerintahan tidak dijalankan dengan semestinya. Demikian juga, tidak mungkin kemelut keuangan dan perbankan segera dipulihkan kembali bila para gubernur bank sentral dan otoritas keuangan tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan menggunakan semua sumber keuangan termasuk cadangan devisa dan tabungan nasional sebaik mungkin. Juga tidaklah mungkin para penguasa keuangan Timur Tengah, yang kelebihan dana akibat rezeki minyak itu, mempercayakan uangnya pada perbankan di berbagai negara maju bila sistem hukum perbankannya tidak cukup baik. Jadi, dengan demikian kuncinya terletak pada reksa pemerintahan yang baik dan yang mengedepankan konsistensi kebijaksanaan yang dituangkan dalam peraturan perundangan, akuntabilitas semua pejabat dan kebijaksanaannya, law enforcement yang kesemuanya merupakan unsur dari rule of law dalam suatu negara demokrasi yang modern.

Reksa pemerintahan di negara berkembang yang mengalami krisis, kesemuanya menunjukkan tipe yang hampir sama, yakni negara yang diperintah dalam suasana semidemokrasi (atau bahkan demokrasi pura-pura), dikuasai oleh mayoritas satu partai yang mendukung pemerintah (seperti Meksiko), social kontrol yang tidak efektif, akuntabilitas para pejabat yang sangat terbatas, transparansi pemerintahan yang terbatas, mutu pendidikan warga yang rendah, dan semangat disintegrasi yang tinggi (yang berbeda dengan Eropa yang ingin menyatukan diri dalam suatu kesatuan ekonomi). Negara berkembang ini tentu saja masih harus banyak belajar dan berjuang keras menyelesaikan krisis yang melanda wilayahnya.

Indonesia adalah negara berkembang yang dianugerahi sumber kekayaan alam yang melimpah, menjadi negara anggota OPEC, dan dianugerahi iklim yang baik dan tanah yang subur. Namun demikian, sampai sejauh ini Indonesia belum mampu beranjak dari stereotip negara berkembang. Sebenarnya, Indonesia telah berhasil menyusun perencanaan ekonomi jangka menengah dan panjang dalam suatu rangkaian tertib hukum tertinggi. Namun, ternyata dalam pelaksanaannya terjadi banyak penyimpangan, dan terhadap berbagai penyimpangan ini tidak dilakukan koreksi yang memadai. Para pemimpin bangsa belum dapat belajar dari krisis keuangan dunia yang terjadi hampir dua puluh tahun yang lalu. Bahkan, kini Indonesia sedang mengalami krisis perbankan yang cukup parah di tengah kemajuan ekonomi negara-negara tetangganya. Di tengah-tengah ketidakpastian usaha bagi para pelaku ekonomi ini, kini kita malah disuguhi drama yang memilukan berupa mismanagement yang menunjukkan ketidakdewasaan para pemimpin kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer widget