Club Cooee

Selasa, 22 November 2011

Berteriak

http://www.resensi.net/wp-content/uploads/2008/05/berteriak.jpg
Suatu ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama. Pentas drama yang
meriah, dengan pemain yang semuanya siswa-siswi disana. Setiap anak mendapat
peran, dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Semuanya
tampak serius, sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil
terbaik dalam pentas. Sementara di depan panggung, semua orangtua murid ikut
hadir dan menyemarakkan acara itu.

Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada
yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang
menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak
pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang
pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya
pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap
terdengar, di sisi kiri dan kanan panggung.

Tibalah kini akhir dari pementasan drama. Dan itu berarti, sudah saatnya Pak
Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat hadiah. Setiap anak tampak berdebar
dalam hati, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Dalam
komat-kamit mereka berdoa, supaya Pak Guru akan menyebutkan nama mereka, dan
mengundang ke atas panggung untuk menerima hadiah. Para orangtua pun ikut
berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik.

Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah
nama. Ahha…ternyata, anak yang menjadi pak tua pemarah lah yang menjadi juara.
Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang…”, begitu
ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung, diiringi kedua orangtuanya yang tampak
bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling, menatap
ke seluruh hadirin. Mereka bangga.

Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia sedikit bertanya
kepada sang “jagoan, “Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya.
Peranmu sebagai seorang yang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya,
sehingga kamu bisa tampil sebaik ini? Kamu pasti rajin mengikuti latihan, tak
heran jika kamu terpilih menjadi yang terbaik..” tanya Pak Guru, “Coba kamu
ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini..”.

Sang anak menjawab, “Terima kasih atas hadiahnya Pak. Dan sebenarnya saya harus
berterima kasih kepada Ayah saya dirumah. Karena, dari Ayah lah saya belajar
berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayah lah saya meniru perilaku ini. Ayah
sering berteriak kepada saya, maka, bukan hal yang sulit untuk menjadi pemarah
seperti Ayah.” Tampak sang Ayah yang mulai tercenung. Sang anak mulai
melanjutkan, “..Ayah membesarkan saya dengan cara seperti ini, jadi peran ini,
adalah peran yang mudah buat saya…”

Senyap. Usai bibir anak itu terkatup, keadaan tambah senyap. Begitupun kedua
orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak tertunduk. Jika sebelumnnya
mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Seakan, mereka berdiri sebagai
terdakwa, di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari itu. Ada yang perlu
diluruskan dalam perilaku mereka.

***

Teman, setiap anak, adalah duplikat dari orang di sekitarnya. Setiap anak adalah
peniru, dan mereka belajar untuk menjadi salah satu dari kita. Mereka akan
belajar untuk menjadikan kita sebagai contoh, sebagai panutan dalam bertindak
dan berperilaku. Mereka juga akan hadir sebagai sosok-sosok cermin bagi kita,
tempat kita bisa berkaca pada semua hal yang kita lakukan. Mereka laksana air
telaga yang merefleksikan bayangan kita saat kita menatap dalam hamparan
perilaku yang mereka perbuat.

Namun sayang, cermin itu meniru pada semua hal. Baik, buruk, terpuji ataupun
tercela, di munculkan dengan sangat nyata bagi kita yang berkaca. Cermin itu
juga menjadi bayangan apapun yang ada di depannya. Telaga itu adalah juga
pancaran sejati terhadap setiap benda di depannya. Kita tentu tak bisa,
memecahkan cermin atau mengoyak ketenangan telaga itu, saat melihat gambaran
yang buruk. Sebab, bukankah itu sama artinya dengan menuding diri kita sendiri?

Teman, saya ingin berpesan kepada kita semua, “berteriaklah kepada anak-anak
kita saat kita marah, maka, kita akan membesarkan seorang pemarah. Bermuka
ketuslah kepada mereka saat kita marah, maka kita akan membesarkan seorang
pembenci, dan biarkanlah mulut dan tangan kita yang bekerja saat kita marah,
maka kita akan belajar menciptakan seorang yang penuh dengki…”

Peran apakah yang sedang kita ajarkan kepada anak-anak kita saat ini? Contoh
apakah yang sedang kita berikan kali ini? Dan panutan apakah yang sedang kita
tampilkan? Teman, percayalah, mereka akan selalu belajar dari kita, dari orang
yang terdekatnya, dari orang yang mencintainya. Merekalah lingkaran terdekat
kita, tempat mereka belajar, menerima kasih sayang, dan juga tempat mereka
meniru dalam berperilaku.

Saya berharap, bisa menjadi orang yang sabar saat melihat seorang anak
menumpahkan air di gelas yang mereka pegang. Saya berharap menjadi orang yang
ikhlas, saat melihat mereka memecahkan piring makan mereka sendiri. Sebab,
bukankah mereka baru “belajar” memegang gelas dan piring itu selama 5 tahun,
sedangkan kita telah mengenalnya sejak lebih 20 tahun? Tentu mereka akan butuh
waktu untuk bisa seperti kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer widget