Club Cooee

Jumat, 04 November 2011

Pergulatan Manusia Dan Hukumnya

Sejak dicitrakan sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup di luar jejaring tatanan, bagaimana dan apa pun bentuknya. Sosialitas menegaskan, bahwa manusia itu adalah makhluk berkelompok, seperti semut, lebah dan lain-lainnya. Tetapi apabila komunitas semut itu bersifat alami, maka boleh dikatakan, bahwa jejaring tatanan manusia adalah buatan (man made), artifisial. Persoalan segera muncul dari tatanan yang bersifat artificial itu. Hukurn adalah tatanan yang sengaja dibuat oleh manusia dan secara sengaja pula dibebankan padanya.

Manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri; namun pada waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri itu, manakala dirasakan tidak cocok (lagi). Sepanjang sejarahnya, manusia meninggalkan jejak-jejak yang demikian, yaitu membangun dan mematuhi hukum (making the law) dan merobohkan hukum (breaking the law). Kendati hukum itu dibuatnya sendiri, ternyata tidak mudah untuk hidup dengan hukum tersebut. Sejak hukum itu selesai dibuat, kehidupan tidak serta merta beijalan mulus, tetapi tetap penuh dengan gejolak dan patahan.

Di belakang drama tersebut, manusia memegang peran utama. Sejarah hukum penuh dengan jejak-jejak pergulatan manusia untuk menemukan tatanan yang ideal bagi zamannya. Ada saatnya is membangun suatu tatanan yang “bengis”, yang akhirnya diubahnya sendiri menjadi lebih lembut.

Kehidupan membutuhkan kaidah sosial dan di zaman sekarang, hukum menjadi primadona. Melalui lembaga-lembaga yang diciptakannya, manusia memproduksi hukum. Tetapi uniknya, hukum itu di sana-sini dirasakan membelenggu dan manusia ingin lolos dari belenggu tersebut. Bahkan, seperti akan diuraikan di bab lain dalam buku ini, orang sempat mengatakan, bahwa tanpa hukum pun kehidupan bisa berjalan.

Lalu, salahkah manusia yang mencoba meloloskan diri dari “belenggu” hukum? Meloloskan diri di sini tidak berseberangan secara diametral dengan kepatuhan kepada hukum. Kepatuhan kepada hukum adalah satu hal, dan pelolosan atau pembebasan diri dari hukum adalah masalah yang beda.

Buku ini ingin mengajak pembaca untuk tidak melihat dan berpikir secara hitam putih. Di berbagai sudut dari buku ini muncul gambaran yang tidak hitam-putih seperti itu. Ada jagat ketertiban, dimana hukum hanya menempati sudut kecil di situ; ada cara berhukum bangsa-bangsa yang beraneka ragam; ada aktivitas berhukum yang terjadi di luar hukum negara, dan seterusnya.

Schuyt, Ellickson, misalnya, nanti akan tampil menunjukkan, bahwa sikap dan tindakan yang berlawanan dengan kewajiban hukum bisa mempunyai alasan yang masuk akal. Hukum tidak selalu benar; ia tidak memonopoli kebenaran; hukum bisa salah. Di sini ketidakpatuhan kepada hukum perlu didengar dan diterima sebagai suatu usaha untuk mengoreksi adanya sesuatu yang tidak benar. Terjadilah pergulatan secara terus menerus antara membuat hukum (rule making) dan mematahkannya (rule breaking) tersebut di muka.

Di atas dikemukakan, bahwa di zaman sekarang, hukum merupakan primadona dalam jagat kaidah-kaidah sosial. Hal itu terjadi karena hukum memiliki sekalian kelengkapan, legitimasi dan kekuatan untuk memaksakan tatanan yang dikehendakinya.

Sudah terlalu sering kita mendengar ujaran “ubi societas ibi ius” (dimana ada masyarakat, di situ ada hukum). Pada hemat saya, itu baru merupakan pernyataan yang sederhana, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup di luar tatanan. Tetapi, ia tidak membicarakan kerumitan yang ada antara “societas” dan “ius” tersebut.

Tidak tergambarkan bagaimana intensif dan rumit kaitan antara keduanya, apalagi sejak sekarang kita menggunakan yang disebut hukum modern. Jarak antara masyarakat dan hukumnya menjadi makin jauh, ibarat “benda asing dalam tubuh”. Sebagian orang mengatakan, bahwa hukum modern telah mengiris ke dalam daging sendiri, yang menggambarkan betapa tajamnya tipe hukum modern itu.

Tidak sederhana untuk mengatakan, bahwa hukum menciptakan keamanan dan ketertiban. Alih-alih berbuat demikian, hukum juga bisa menimbulkan persoalan. Kekurangan berhati-hati dalam membuat hukum memiliki risiko, bahwa hukum malah menyusahkan atau menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Hukum juga memiliki potensi untuk menjadi kriminogen. Sungguh, inilah tragedi manusia dan hukumnya.
Hukum yang umum dipakai di dunia dewasa ini, yang dikenal sebagai hukum modern, adalah hukum yang memiliki tipe khusus, yang tidak dijumpai sepanjang sejarah hukum di dunia, karena baru muncul sekitar abad ke-18/19. Lebih khusus lagi, hukum modern itu memiliki asal-usul sosial dan kulturalnya sendiri, yaitu suatu institut yang dikembangkan di Eropa.

Maka, diproyeksikan pada kenyataan yang demikian itu, kita bisa mengatakan, bahwa dimungkinkan adanya kehidupan manusia tanpa hukum. Selama ribuan tahun sejarah peradaban manusia, kehidupan tetap berjalan baik tanpa menggunakan hukum modern, yang baru muncul beberapa abad terakhir ini.

Sementara itu jarum jam peradaban terus berdetik, hukum itu terus berkembang dan dikembangkan dari abad ke abad. “Hukum” duaribu tahun yang lalu jauh berbeda dengan hukum kita sekarang. Hukum tidak akan bisa berubah dan berkembang seperti itu apabila tidak aktor pengubahnya, yang tidak lain adalah manusia sendiri juga.

Sebagaimana nanti akan dituliskan pada bab-bab lain di belakang, bentuk dan tipe hukum itu berkembang dari masa ke masa. Pada saat kita berdiri di dunia abad ke-21 ini, maka kita akan mengatakan, bahwa yang namanya hukum adalah hukum seperti kita kenal sekarang ini, yang umum dinamakan “hukum modern”. Diteropong dengan kacamata ini, maka pada masa-masa lampau yang jauh tidak tampak kehadiran apa yang sekarang dinamakan hukum itu. Kendatipun demikian, ternyata kehidupan manusia pada masa itu berjalan dengan cukup balk juga, sekalipun tidak berdasar atau menggunakan hukum sebagaimana kita kenal dewasa ini. Kurun waktu dalam sejarah, cara manusia berhukum berbeda-beda dan berubah-ubah.

Kelahiran hukum modern bukan merupakan peristiwa alam seperti gempa bumi, gunung meletus, kelahiran bayi dan lain-lain, melainkan buatan manusia. Dan pada akhirnya apabila kemudian muncul bermacam-maeam persoalan sehubungan dengan “hukum-buatan-manusia” itu, maka sesungguhnya persoalan-persoalan yang kemudian timbal itu pada hakikatnya juga diciptakan oleh manusia atau merupakan ulah manusia sendiri.

Buku ini menyodorkan gagasan agar seyogianya hukum itu dilihat sebagai hasil pergulatan atau perjuangan manusia untuk menciptakan keadilan dalam masyarakatnya. Perjuangan tersebut akan terus berlangsung dari waktu ke waktu, sesuai dengan keterbatasan manusia untuk menerjemahkan keadilan dalam kehidupan sosial, apalagi ke dalam undang-undang.

Maka sesungguhnyalah, sejak hukum itu adalah persoalan manusia dan bukan semata-mata persoalan peraturan, serta sejak hukum itu ada untuk manusia dan bukan sebaliknya, bukankah sebaiknya hukum itu kita biarkan mengahr saja?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer widget