Semua kalangan sepakat bahwa berobat adalah perbuatan yang diperbolehkan. Setiap muslim diperkenankan pergi ke dokter, ahli penyakit dalam, ahli bedah, ahli syaraf, dan sebagainya. Dengan demikian, penyakit yang dideritanya bisa didiagnosis sesuai dengan ilmu kedokteran. Semua itu merupakan bagian dari ikhtiar untuk mengetaui penyebab yang sudah sewajarnya, sedangkan [ikhtiar] itu tidak bertentangan dengan sikap tawakal kepada Allah.
Allah telah menurunkan penyakit bersamaan dengan obat atau penawarnya. Sebagian orang mengetahuinya, sebagian lainnya tidak mengetahuinya.
Imam AI-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda, “Allah tidak akan menurunkan suatu penyakit, kecuali diturunkanNya pula obat atau penangkalnya.”
Dalam sebuah hadits juga disebutkan, “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila suatu obat menepati sasarannya, maka sembuhlah atau hilanglah penyakit itu dengan seizin Allah S.w.t.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Dari Imam At-Tirmidzi dikabarkan bahwasanya orang-orang Arab bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah! Perlukah kami berobat?” Beliau menjawab, “Ya! Hamba Allah semuanya perlu berobat. Sesungguhnya Allah tidak menempatkan suatu penyakit, kecuali ditempatkan pula penangkal atau obatnya.” (Hadis ini hasan shahih)
Nabi s.a.w. Sendiri pernah berobat dan bercantuk. Jabir r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah pernah menghangatkan Sa’ad ibn Mu’adz di bagian hitam matanya sebanyak dua kali.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Muslim)
Para ulama juga telah menyusun bab tersendiri dalam masalah ini, seperti halnya Imam Muslim dan lainnya, yaitu bab yang menyebutkan bahwa “Setiap penyakit ada obatnya.” Hal ini disandarkan pada nash-nash yang berasal dari Nabi s.a.w..
Tidak ada keraguan bahwa hadits tersebut membuka harapan orang-orang yang terkena penyakit dan gangguan lainnya. Lebih-lebih, para ilmuwan (ahli) telah mencurahkan segala kemampuan mereka guna menyingkap obat atau penangkal yang telah diciptakan oleh Allah untuk penyakit AIDS dan penyakit-penyakit lainnya.
Karena itu, siapa pun tidak diperkenankan berputus-asa dari rahmat Allah. Allah berfirman,
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yuusuf [12]: 87)
Sebagaimana telah kita maklumi bersama, manusia masih belum bisa menguak [sepenuhnya] rahasia alam yang berkaitan dengan kedokteran. Meski mereka mengaku telah maju di bidang ilmu, senantiasa masih ada banyak penyakit yang belum diketahui penyebabnya dan cara pengobatannya hingga sekarang.
Pengobatan dengan Sesuatu yang Haram
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud “Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan obat bagi kalian segala yang diharamkan bagi kalian.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
Dalam kitab As-Sunan, diriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah s.a.w. melarang obat-obatan yang buruk.”
Dalam Shahiih Muslim, diriwayatkan bahwa Thariq bin Suwaid Al-Ja’fi bertanya kepada Nabi s.a.w. mengenai khamr (minuman yang memabukkan), kemudian Rasulullah melarangnya atau membenci pembuatannya. Suwaid berkata lagi, “Saya membuatnya untuk dijadikan obat.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat, melainkah sumber penyakit.”
Dalam kitab Sunan An-Nasaa’i, disebutkan bahwasanya ada seorang tabib menuturkan katak sebagai obat di hadapan Rasulullah, kemudian beliau melarang dia membunuh katak tersebut.
Abu Dawud dalam kitab Sunannya menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda’. la berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan dijadikan setiap penyakit ada obatnya. Oleh karena itu, berobatlah kalian, namun janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.”
Dalam Shahiih Muslim, diriwayatkan dari Thariq bin Suwaid Al-Hadrami bahwa is berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya di tempat kami terdapat buah anggur yang selalu kami peras. Bolehkah kami meminumnya?” Rasulullah menjawab, “Tidak boleh.” Kemudian saya berkata lagi kepada beliau, “Sesungguhnya kami menjadikan khamr tersebut sebagai obat bagi orang yang sakit.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya khamr bukanlah obat, melainkan penyakit.”
Pengobatan dengan menggunakan sesuatu yang haram merupakan kejelekan, baik secara akal maupun secara syara’. Tidak semua obat yang diresepkan oleh tabib atau pun dokter boleh dikonsumsi. Terkadang obat tersebut terbuat dari khamr. Namun, jika khamr yang ada dalam obat tersebut telah berubah menjadi sesuatu yang halal dan tidak ada bekasnya lagi, baik dari segi warna atau rasa maupun bau, maka itu diperbolehkan.
Demikan juga, orang yang sakit dilarang pergi ke dukun ([atau paranormal] yang mengaku mengetahui hal yang gaib) guna menanyakan penyakitnya. la tidak diperkenankan pula mempercayai pemberitahuan dari dukun. Sesungguhnya mereka hanya menduga-duga hal gaib atau mereka mendatangkan jin untuk membantu mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dukun-dukun tersebut kafir dan sesat jika mereka mengaku mengetahui hal yang gaib.
Imam Muslim, dalam kitab Shahiih-nya, meriwayatkan bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda, “Barangsiapa mendatangi seorang dukun dan bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka amalan shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa mendatangi seorang dukun, kemudian mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia benar-benar telah ingkar terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Abu Dawud)
Imran bin Hushain r.a. berkata bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang meramal atau pun diramal. Barangsiapa mendatangi seorang dukun, kemudian mempercayai apa yang ia ucapkan, maka la telah ingkar terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Al-Bazzar dengan sanad yang Jayyid)
Di samping itu, memberi sesaji kepada jin atau pun makhluk gaib lainnya diharamkan. Diharamkan pula menyandarkan diri kepada jin untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya, meski dapat menyembuhkan si sakit. Ini karena benarnya tujuan tidak dapat membenarkan cara yang ditempuh. Allah tidak menjadikan kebaikan atau kesehatan di dalam sesuatu yang diharamkan kepada mereka.
Al-Qur’an Penyembuh Segala Penyakit
Dalam beberapa ayat, Allah S.w.t. berfirman,
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Israa’ [17]: 82)
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit¬penyakit (yang berada) dalam dada.” (Yuunus [10]: 57)
“Katakanlah: Ai-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (Fushshilat [41]: 44)
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.” (At-Taubah [9]: 14)
Kesimpulan dari beberapa ayat di atas menunjukkan bahwa Allah adalah Zat yang bisa menyembuhkan. Hal ini sesuai dengan ayat:
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’araa’ [26]: 80)
Obat yang dipergunakan sebagai penyembuh tidak disyaratkan harus berbentuk kombinasi dari berbagai bahan maupun dari tanam-tanaman atau yang sejenisnya, tetapi cukup dengan menggunakan ayat-ayat atau surat yang ada dalam Al-Qur’an.
Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. ketika hendak menuju tempat tidur pada setiap malamnya, beliau selalu menyatukan kedua telapak tangan kemudian meniupkan ke dalamnya seraya membaca surat Al-lkhlaas dan Muawwizatain (surat Al-Falaq dan An-Naas). Setelah itu, beliau mengusapkannya pada seluruh anggota tubuh yang mampu diusapnya dengan memulainya dari atas kepala dan kemudian muka. Rasulullah melakukan hal itu sebanyak tiga kali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahiih-nya)
Dalam beberapa periwayatan yang terdapat pada kitab hadits Shahiihain disebutkan tambahan bahwa Aisyah r.a. berkata, “Ketika Rasulullah s.a.w. mengaduhkan rasa sakit yang dideritanya, beliau menyuruhku agar aku melakukan seperti itu.”
Dalam sebagian periwayatan dinyatakan, Aisyah berkata, “Rasulullah s.a.w. ketika sedang sakit yang sampai menemui ajalnya, beliau pernah meniup dirinya sendiri dengan memakai surat-surat atau pun ayat-ayat perlindungan (muawwizatain).”
Aisyah mengatakan, “Ketika Rasulullah s.a.w. dalam keadaan sakit yang parah, saya meniupkan kepada Rasulullah ayat-ayat perlindungan dan mengusap tangan beliau karena menginginkan berkahnya.”
Dalam riwayat yang lain, “Ketika Rasulullah s.a.w. mengaduh kesakitan, beliau lalu membaca ayat-ayat perlindungan dan kemudian meniupnya (ke seluruh anggota badan).”
Ahli bahasa mengatakan, “Yang dimaksud meniup di sini adalah tiupan lembut yang tanpa pencampuran dengan air liur.”
Disunnahkan agar membacakan Al-Fatihah kepada orang yang sakit. Dalam sebuah hadits shahih tentang surat Al-Fatihah, Rasulullah bersabda, “Apakah kamu sudah tahu bahwa surat AI-Fatihah bisa juga digunakan sebagai ruqyah (obat)?”
Thalhah bin Mathraf berkata, “Orang yang sakit, apabila dibacakan Al-Qur’an, maka ia akan merasa ringan.” Kemudian aku masuk ke rumah Khaitsamah yang pada waktu itu sedang tergeletak sakit. Aku bertanya kepadanya, “Aku lihat kamu sekarang agak membaik,” Khaitsamah menjawab, “Iya, karena saya dibacakan Al-Qur’an.”
Termasuk hal yang sudah diketahui bersama adalah bahwa Al-Qur’an merupakan penyembuh untuk beberapa penyakit syahwat (kesenangan). la juga bisa menyembuhkan penyakit jiwa, raga, hati, dan jantung.
Abu Sa’id AI-Khudri r.a. berkisah:
Pada suatu ketika, sekelompok sahabat Nabi berada dalam suatu perjalanan. Tibalah mereka di kawasan salah satu suku Arab. Para sahabat hendak bertamu atau meminta bantuan, tetapi ditolak oleh warga setempat.
Sesaat kemudian, kepala suku terkena sengatan sesuatu. Akhirnya, para penduduk ke sana kemari, kebingungan mencarikan pengobatan, tetapi hasilnya sia-sia. Di antara para warga ada yang mengusulkan, “Barangkali saja rombongan orang tersebut dapat menyembuhkan kepala suku kita?” Mereka pun akhirnya memanggil rombongan yang terdiri dari sahabat Nabi.
Warga mengatakan, “Wahai kalian, kepala suku kami tersengat binatang. Apakah kalian membawa sesuatu yang sekiranya dapat membantu kesembuhan kepala suku kami?” Di antara rombongan ada yang menjawab, “Iya, demi Allah, insya’ Allah saya dapat mengobati. Sejak tadi kami ingin bertamu, tetapi kalian menolak. Saya tidak mau mengobati, kecuali kalau ada upahnya.”
Warga mengatakan, “Kalau begitu, persiapkan sekelompok kambing untuk rombongan ini.”
Sahabat yang mau mengobati tersebut kemudian meludahi kepala suku seraya membacakan surat Al-Fatihah dan seolah-olah ia mengencangkan tali ikatan.
Tidak lama setelah itu, sang kepala suku berkata, “Bayarlah upah mereka sesuai kesepakatan yang kalian buat.”
Sebagian sahabat berkata, “Bagilah hasil ini!” Namun, orang yang mengobati berkata, “Jangan lakukan dulu sampai kita bertemu dengan Rasulullah. Kita akan menceritakan kejadian ini kepada beliau. Kita lihat saja nanti apa yang diperintahkan Rasulullah.”
Setelah bertemu, para sahabat Nabi tersebut melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah dan menceritakan kepada beliau peristiwanya secara urut. Mendengar itu, Rasulullah bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa ayat-ayat perlindungan bisa dijadikan sebagai ruqyah (obat)?”
Kemudian Rasulullah bersabda lagi, “Kalian memang benar. Maka dari itu, bagilah (barang itu) antara aku dan kalian.” (HR. AI-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahiih-nya)
Pengobatan dengan Hadits Nabi
Al-Khathib Abu Bakar Al-Baghdadi meriwayatkan dengan isnadnya sendiri bahwa Ar-Rumadi ketika mengadukan sesuatu, dia berkata, “Datangkan kepadaku orang-orang yang ahli hadits.” Ketika ahli hadits sudah datang, dia kembali berkata, “Bacakan hadits untukku.” Begitulah peran hadits dalam masalah ini.
Itu adalah hadits, sedangkan AI-Qur’an tentulah jauh lebih utama. Keterangan tersebut disinyalir oleh Imam Nawawi dalam kitab At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalah Al-Qur’an. Di kitab tersebut termaktub bahwasanya Ibnu Majah, dalam Sunan-nya, meriwayatkan sebuah hadits dari Ali r.a. yang berkata bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sebaik-baik obat adalah Al-Qur’an.”
Baik suatu penyakit sudah ditemukan obatnya maupun belum, Al-Qur’an tetap bisa dijadikan sebagai obat. Bahkan, hadits pun demikian halnya. Semuanya itu atas izin Allah.
Petunjuk Rasulullah dalam Berobat
Penyakit dikelompokkan menjadi dua: penyakit hati (penyakit jiwa) dan penyakit tubuh (penyakit raga). Yang saya maksud dengan penyakit hati di sini adalah beberapa penyakit kesenangan, bukan penyakit hati yang dapat diobati oleh para dokter, seperti penyakit jantung, yang termasuk penyakit badan.
Terhadap kedua jenis penyakit tersebut Rasulullah s.a.w. telah menganjurkan untuk berobat.
Diriwayatkan dari Usamah bin Syarik r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya, kecuali penyakit tua.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini Hasan Shahih)
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya.Jenis obat tersebut hanya diketahui oleh orang yang mengetahui dan tidak dapat diketahui oleh orang yang bodoh.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban)
Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Ath-Thibb An-Nabawi mengatakan, “Rasulullah s.a.w. melakukan pengobatan terhadap diri sendiri dan memerintahkan berobat kepada orang-orang yang terkena penyakit, baik keluarga maupun para sahabat. Akan tetapi, Nabi dan para sahabat tidak menggunakan obat-obatan kombinasi atau yang disebut dengan akrobasin. (Yang paling banyak menggunakan obat¬obatan kombinasi adalah bangsa Romawi dan Yunani.) Yang lebih sering dipakai adalah yang yang berbahan tunggal. (Bentuk ini sering dimanfaatkan di dunia kedokteran India.) Terkadang, digabungkanlah satu bahan dengan bahan lainnya yang saling membantu. (ltulah bentuk pengobatan yang sering dilakukan oleh dunia kedokteran di kawasan Arab dan Turki serta penduduk pedesaan secara umum.)”
Para dokter telah sepakat bahwa selama pengobatan itu dapat menggunakan makanan, maka konsumsi obat tidak diperkenankan. Bila bisa berobat dengan sesuatu yang ringan, maka tidak boleh dengan yang berat.
Para dokter mengemukakan, “Terhadap setiap penyakit yang dapat diatasi dengan suatu menyantap makanan dan melakukan pantangan terhadap makanan tertentu, konsumsi obat tidak diperbolehkan.”
Para dokter juga mengimbau agar setiap dokter tidak dengan mudah memberikan resep obat. Sebab, ketika suatu obat tidak mampu melawan penyakit di dalam tubuh, atau tubuh menemukan penyakit yang tidak seimbang dengan obatnya, maka kadar atau kualitas obat yang dibutuhkan kemudian akan selalu bertambah.
Petunjuk yang paling baik adalah seperti yang dilakukan Rasulullah s.a.w.. Ini karena petunjuk tersebut selalu tepat pada semua bidang kedokteran maupun bidang-bidang lainnya, lantaran kapasitas beliau seperti yang difirmankan Allah:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah [9]: 128)
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an)menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm [53]: 3-4)
Apabila ilmu umat manusia sekarang ini dibandingkan dengan umat manusia sebelumnya, maka didapati bahwa ilmu manusia sekarang ini lebih utama dan lebih maju daripada umat manusia sebelumnya. Begitu pula ketika agama, ibadah, dan ketaatan kepada Allah umat manusia sekarang ini dibandingkan dengan umat yang lain, maka tampaklah bahwa umat manusia saat ini jauh lebih beragama daripada masa-masa sebelumnya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah.
Perhatikan juga perkataan Ibnu Qayyim yang telah saya ketengahkan! Akan Anda lihat sejauh mana kemantapan keilmuannya. Tidak hanya dalam bidang syariah saja, tetapi juga kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya.
Ibnu Qayyim mengatakan, “Kesimpulannya adalah bahwa obat-obatan itu sesuai dengan jenis makan-makanan. Pada umat atau pun sekelompok manusia yang sering mengkonsumsi beberapa gelintir jenis bahan makanan, penyakitnya sedikit sekali. Sedangkan pada orang-orang kota yang konsumsinya adalah makanan-makanan kombinasi, maka dibutuhkan obat yang berbentuk kombinasi pula. Penyebabnya, penyakit mereka komplikasi. Karenanya, obat¬obatan yang berbentuk kombinasi sangat bermanfaat bagi mereka. Sedangkan penyakit-penyakit penduduk desa masih homogen, sehingga pengobatannya cukup dengan obat-obat berbahan tunggal. Penjelasan ini dapat dijadikan bukti dalam bidang kedokteran.”
Kekalahan Umat Islam di Bidang Kedokteran
Ilmu-ilmu yang bermanfaat dapat diambil dari orang-orang yang berkompeten di dalamnya. Sedangkan ilmu-ilmu hidayah hanya dapat diambil dari kitab Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Pembelajaran kita terhadap ilmu-ilmu kedokteran, pertanian dan perindustrian bukan berarti kita mengambil agama orang kafir sebagai anutan tanpa saringan.
Memang, ada banyak di antara kita yang menghendaki agar buku-buku dan pertemuan-pertemuan ilmiah di negara kita memakai bahasa Inggris, dengan dialek Amerika, serta menyerupai mereka dalam segala hal. Padahal, bahasa Arab adalah bahasa yang lebih mulia, sedangkan umat yang berpijak pada syariat Allah adalah sebaik-baik umat. Allah berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.”(Ali-’lmraan [31: 110) Lantas, apa yang menyebabkan terjadinya kekalahan atau dekadensi mental?
Dalam kitab lqtidhaa' Ash-Shiraath AI-Mustaqiim Mukhaalafah Ashhaab AI-Jahiim, lbnu Taimiyah mengatakan, "Tak terbayangkan kalau urusan orang kafir hanya terbatas pada perkataan. Maka dari itu, sikap yang berbeda dengan mereka dalam semua urusan sangat bermanfaat dan sangat baik. Bahkan, penekanan masalah materi duniawi sekali pun terkadang dapat menyengsarakan kehidupan ukhrawi kita. lntinya, sikap berbeda dengan orang kafir dalam semua persoalan sangat bermanfaat bagi kita kaum muslimin."
Kata-kata Ibnu Taimiyah selanjutnya: "Sebenarnya, semua aktivitas dan persoalan orang kafir hanya membawa cacat dan tidak mendatangkan manfaat sama sekali. Namun, andaikata kita diperbolehkan melakukan perbaikan pada semua persoalan orang kafir secara menyeluruh, maka tentunya kita akan mendapatkan imbalan akhirat. Akan tetapi, bagaimanapun juga, ada kemungkinan bahwa semua persoalan orang kafir itu rusak atau pun kurang. Sebaliknya, atas nikmat Islam, segala puji bagi Allah. Islam itu merupakan nikmat yang paling agung dan pokok dari setiap kebaikan, sebagaimana yang diridhai dan dicintai Allah."
Ibnu Qayyim pun mengomentari orang kafir melalui perkataannya: "Prosentase bidang kedokteran yang dikuasai orang kafir bila dibandingkan dengan wahyu adalah seperti prosentase keilmuan mereka terhadap sesuatu yang datang dari para Nabi. Bahkan, sebenarnya di sana terdapat obat yang dapat menyembuhkan semua penyakit, tetapi tidak bisa ditemukan oleh para dokter.
Lebih daripada itu, ilmu pengobatan atau pun eksperimen para dokter belum bisa sampai ke sana, baik yang berkaitan dengan jiwa maupun raga.
Di sisi lain, sesungguhnya kekuatan hati, berpegang teguhnya pada Allah, tawakkal, rendah diri, memperbanyak sedekah dan doa, bertaubat dan meminta ampunan, berbuat baik kepada makhluk, serta menolong orang yang kesusahan, semuanya itu merupakan obat yang telah dipraktikkan semua orang dalam berbagai agama dan aliran kepercayaan. Mereka menemukan dampak kesembuhan yang tidak dapat ditemukan oleh para dokter.
Kita telah mempraktikkan teori [ilmu] tersebut. Hasilnya bisa kita lihat sendiri. Ketika hati dapat berkomunikasi dengan Tuhan semesta alam, dengan pencipta penyakit dan obat, dengan pengatur alam, dan mengaturnya menurut kehendak-Nya, maka akan ditemukan jenis obat lain selain obat yang dimaksudkan untuk menyembuhkan penyakit hati yang sebenarnya.
Telah diketahui bersama bahwa ketika ruh menjadi kuat, sedangkan jiwa dan watak pun menjadi kuat untuk saling membantu mengusir penyakit, maka dapatkah dipungkiri bahwa orang yang selalu mendekatkan diri kepada Tuhannya, dan merasa nikmat dengan hanya mengingat-Nya, secara otomatis bisa memiliki obat yang paling besar, yang berupa kekuatan untuk mengusir penyakit secara keseluruhan? Dalam masalah ini, tidak ada yang mengingkari, kecuali orang-orang yang bodoh, orang-orang yang memiliki penghalang besar, sehingga sangat jauh dari Allah dan jauh pula dari hakikat manusia.”
Munculnya Pengobatan dengan Ruqyah dan Doa
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Barangsiapa dapat memberi manfaat kepada orang lain, maka lakukanlah.”
Berdasarkan hadits tersebut, hukum pengobatan atau terapi yang menggunakan ruqyah dan doa adalah sunnah (dianjurkan); syaratnya: memuat zikir-zikir kepada Allah dan menggunakan kata-kata yang bisa dipahami. Sesuatu yang tidak bisa dipahami tidak terjamin keamanannya dari kemusyrikan.
Auf bin Malik r.a. berkata, “Kami di zaman jahiliyah pernah melakukan ruqyah. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasul, bagaimana pendapat Anda tentang ruqyah?’ Rasulullah s.a.w. menjawab, “Tunjukkan kepadaku ruqyah yang telah kalian lakukan. Ruqyah bukanlah masalah selama tidak mendatangkan kemusyrikan.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Ar-Rabi’ berkata, “Aku bertanya kepada Imam Syafii tentang masalah ruqyah. Imam Syafii menjawab, ‘Tidak apa-apa Anda meruqyah dengan memakai kitabullah, dan zikir-zikir kepada Allah.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah orang-orang Ahlul Kitab (Yahudi, Nasrani) pernah meruqyah orang Islam?’ Imam Syafii menjawab, ‘Ya, pernah. Mereka meruqyah dengan memakai kitabullah dan zikir kepada Allah.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. pernah membacakan ayat-ayat perlindungan untuk sebagian keluarga beliau. Rasulullah mengusapkan dengan tangan kanan beliau sendiri seraya mengucapkan doa,
“Ya Allah, Tuhan manusia, hilangkanlah kepayahan. Sembuhkanlah. Engkau adalah Zat yang menyembuhkan. Tidak ada penyembuh selain dari penyembuhan-Mu, suatu penyembuhan yang tidak akan mendatangkan penyakit lagi.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Utsman bin Abu Al-Ash r.a. bahwa ia mengadukan rasa sakit yang ada pada tubuhnya kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya, “Letakkan tanganmu pada bagian anggota yang sakit, lalu ucapkan: bismillah, setelah itu ucapkanlah tujuh kali:
(dengan keagungan dan kekuasaan Allah aku berlindung dari kejelekan sesuatu yang aku temukan).”
Perawi hadits ini meneruskan ceritanya, “Kemudian aku melakukan sesuatu yang diajarkan Rasulullah secara berulang-ulang. Kemudian Allah berkenan menghilangkan semua rasa sakit yang ada padaku. Sejak saat itu, aku perintahkan keluargaku dan orang-orang lain untuk melakukan hal yang serupa.”
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Muhammad bin Salim bahwa ia berkata, “Tsabit Al-Bannani mengatakan sesuatu kepadaku, “Wahai Muhammad, ketika Anda mengaduh kesakitan, maka letakkan tanganmu pada anggota yang sakit, kemudian ucapkanlah doa: bismillah, dengan keagungan Allah aku berlindung dari keburukan sesuatu yang aku temukan dari penyakitku ini,” lalu angkatlah tanganmu dan lakukan hal tersebut secara ganjil, sebab Anas bin Malik pernah berkata kepadaku bahwasanya Rasulullah pernah mengatakan seperti itu
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda, “Barangsiapa menengok orang sakit yang belum sampai meninggal: dan mengatakan kepada si sakit sebanyak tujuh kali doa berikut
(Aku meminta kepada Allah yang Maha agung, Tuhan Arasy yang agung, agar Allah menyembuhkanmu), maka Allah akan menyembuhkan orang tersebut dari penyakit yang dideritanya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut adalah Hasan. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits tersebut Shahih menurut syarat Al-Bukhari)
AI-Bukhari meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. yang berkata, “Rasulullah s.a.w. pernah membacakan kalimat¬kalimat perlindungan untuk Hasan dan Husain:
(Aku mintakan perlindungan untuk kalian berdua dengan beberapa kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, serta dari setiap mata yang jahat).”
Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya bapak kalian berdua (Ibrahim) juga membacakan perlindungan dua hal di atas untuk putranya, Ismail dan lshaq.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqas r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. pernah menjenguknya ketika ia sakit, kemudian Rasulullah mendoakan, “Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad! Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad! Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad!”
Ruqyah dan Kalimat Bermanfaat untuk Perlindungan dan Kesembuhan
Memperbanyak membaca surat An-Naas dan AI-Falaq, surat AI-Faatihah, dan ayat Kursi, kemudian membaca [kalimat]:
“Aku berlindung dengan beberapa kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan sesuatu yang telah Dia ciptakan.”
Membaca [kalimat]:
“Aku berlindung dengan beberapa kalimat Allah yang sempurna, yang tidak dapat dilalui oleh orang baik atau pun jahat, dari kejelekan sesuatu yang telah Dia ciptakan dan yang telah Dia titahkan, dari kejelekan sesuatu yang turun dari langit dan dari kejelekan sesuatu yang naik ke langit, dari kejelekan sesuatu yang masuk ke dalam bumi dan sesuatu yang keluar darinya, dari kejelekan fitnah pada waktu slang atau pun malam, dari kejelekan orang-orang yang mengetuk pada waktu slang atau pun malam, kecuali orang yang mengetuk kebajikan, wahai Zat yang Maha Penyayang.”
Membaca [kalimat]:
“Aku berlindung dengan beberapa kalimat Allah dari murka dan siksa-Nya, dari kejahatan hamba-hambaNya, dan dari fitnah para setan serta kedatangan mereka.”
Membaca [kalimat]:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan Zat-Mu yang Agung dan beberapa kalimat-Mu yang sempurna, dari kejelekan sesuatu yang Engkau sendiri adalah yang mengambil dengan ubun-ubunnya. Ya Allah, Engkau memperlihatkan dosa dan hutang. Ya Allah, sesungguhnya bala tentara-Mu tidak akan terusik, janji-Mu tidak akan meleset, Mahasuci Engkau dan dengan pujian-Mu.”
Membaca [kalimat]:
“Aku berlindung dengan Zat Allah yang Agung, yang tidak ada lagi yang lebih agung daripada Dia, dengan beberapa kalimat-Nya yang sempurna yang tidak dapat dilalui oleh orang baik atau pun jahat, dengan nama-nama Allah yang bagus baik sesuatu yang aku ketahui dari nama tersebut maupun yang tidak aku ketahui dari kejelekan sesuatu yang telah Dia ciptakan dan titahkan, dari kejelekan setiap sesuatu yang jelek yang kejelekannya tak mampu kuhadapi, dari kejelekan setiap sesuatu yang jelek yang Engkau sendirilah yang mengambil ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku berada pada jalan yang lurus.”
Membaca [kalimat]:
“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Hanya kepada-Mu aku berserah diri. Engkau Tuhan Arasy yang agung. Sesuatu yang Engkau kehendaki akan berwujud dan yang tidak Engkau kehendaki tidak akan berwujud. Tidak ada daya kekuatan sedikit pun, kecuali dari Allah. Aku mengerti bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya ilmu Allah mencakup segala sesuatu. Aku menghitung segala sesuatu dalam jumlah bilangan. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan jiwaku, dari kejelekan setan dan sekutunya, dari kejelekan setiap binatang yang Engkau sendirilah yang mengambil ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku berada di atas jalan yang lurus.”
Atau membaca [kalimat]:
“Aku berlindung kepada Allah yang tidak ada Tuhan lain melainkan Dia. Dia adalah Tuhanku dan Tuhan segala sesuatu. Aku berpegang teguh kepada Tuhanku dan Tuhan segala sesuatu. Aku berserah diri kepada Zat yang Maha hidup dan tak pernah mati. Aku mengharap pelepasan kejelekan dengan kalimat laa haula walaa quwwata illaa billaah. Cukuplah Allah bagiku sebagai sebaik-baik penolong. Cukuplah Allah bagiku sebagai Tuhan para hamba. Cukuplah Allah bagiku sebagai Pencipta semua makhluk. Cukuplah Allah bagiku sebagai Pemberi rizki. Cukuplah Allah bagiku sebagai yang mencukupiku. Cukuplah Allah bagiku sebagai Zat yang memiliki kerajaan atas segala sesuatu. Dia memberi balasan dan tidak diberi balasan. Cukuplah Allah bagiku dan cukuplah pendengaran Allah bagi orang yang meminta. Di belakang Al¬lah tidak ada lagi tujuan (lain). Cukuplah Allah bagiku. Tiada Tuhan selain Allah. Kepada-Nya aku berserah diri. Dialah Tuhan Arasy yang agung.”
Ibnu Qayyim berkata, “Barangsiapa mau mencoba dengan kalimat-kalimat perlindungan dan doa-doa di atas, maka ia akan merasakan manfaatnya serta sangat membutuhkannya. Doa-doa tersebut dapat mencegah datangnya tipu-daya orang yang dengki serta menolak kembali kedengkian itu. Setelah itu, [khasiatnya] tergantung pada kekuatan iman pembacanya beserta kekuatan jiwanya dan persiapannya, disamping kekuatan tawakkal dan kemantapan hatinya. Doa¬doa tersebut ibarat senjata, sedangkan [ampuh tidaknya] senjata itu tergantung pada orang yang memegangnya.”
Maksudnya bukan hanya senjata. Maka dari itu, sebaiknya kita arahkan jiwa kita menuju keyakinan yang mantap akan manfaat doa-doa di atas, bukan seperti sedang menjalani ujian dari Tuhannya, bukan pula sekedar mencoba-coba dengan masih meragukan syariat Allah.
Kalau tidak mantap, perumpamaannya adalah seperti tangan lumpuh yang memegang sebilah pedang yang sangat tajam. la tidak mampu membawa pedang tersebut atau pun menghunusnya guna menghabisi musuh.
Zikir dan Doa Tuntunan Rasulullah
Bukan rahasia lagi bahwa setiap Syaikh memiliki cara sendiri. Namun, yang benar, tidak ada jalan yang bisa kita tempuh kecuali yang berasal dari Rasulullah s.a.w.. Sebabnya, tidak ada perkataan seorang pun setelah firman Allah dan sabda rasul-Nya. Allah berfirman,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maa’idah [5]: 3)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’aam [6]: 153)
Di dalam Musnad Ad-Daarimi, disebutkan bahwa Abu Musa Al-Asy’ari r.a. mendatangi Abdullah bin Mas’ud dan berkata, “Wahai bapak Abdurrahman, sesungguhnya di masjid aku melihat suatu peristiwa yang sebenarnya aku ingkari, tetapi alhamdulillah, sepertinya sesuatu tersebut saya pandang baik-baik saja.” Abdullah bin Mas’ud bertanya, “Peristiwa apa itu?” Abu Musa menjawab, “Apabila kau melihat sendiri, maka kau akan tahu.” Lalu Abu Musa melanjutkan ceritanya:
“Tadi aku lihat di masjid ada sekelompok orang yang membentuk suatu halaqah (majelis melingkar) sambil menanti datangnya waktu shalat. Dalam setiap halaqah terdapat satu orang komandan yang di tangannya terdapat kerikil kecil. Kemudian sang komandan berkata kepada anggotanya, “Bertakbirlah kalian seratus kali,” maka para pengikut juga melaksanakan perintah membaca takbir seratus kali. Sang komandan memerintahkan lagi agar membaca tahlil seratus kali yang kemudian juga langsung dilaksanakan para pengikut. Akhirnya, sang komandan memerintahkan mereka membaca tasbih seratus kali. Para pengikutnya langsung melaksanakan perintah tersebut. Sejenak mendengar penuturan Abu Musa, Abdullah bin Mas’ud langsung bertanya kepadanya, “Apa yang kamu katakan kepada orang-orang seperti itu?” Abu Musa menjawab, “Aku tidak mengatakan apa-apa sampai kau perintahkan sesuatu kepadaku.” Abdullah bin Mas’ud berkomentar, “Tidakkah kau perintahkan mereka memperhitungkan keburukan dan kau jamin kebaikan mereka?” Abu Musa terdiam. Setelah itu, Abu Musa dan Abdullah bin Mas’ud pergi menuju halaqah yang dimaksud. Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitar halaqah, “Apa yang telah kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Wahai bapak Abdurrahman, kami memegang kerikil kecil untuk menghitung jumlah bacaan takbir dan tahlil.” Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Hitunglah keburukan kalian semua dan aku akan menanggung semua kebaikan kalian. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad. Alangkah dekatnya kalian dengan kebinasaan dan pintu kesesatan.” Mereka menanggapi, “Demi Allah, wahai bapak Abdurrahman, kami lakukan ini semua hanyalah [karena bermaksud] mengharapkan kebaikan.” Abdullah bin Mas’ud menukas, “Banyak orang mengharap kebaikan, tetapi mereka tidak memperolehnya.”
Jadi, bagusnya niat saja belum memadai dalam beramal. Amal itu harus dibarengi dengan benarnya perbuatan. Artinya, berlangsungnya perbuatan tersebut harus berdasar pada kitabullah dan sunnah Rasulullah s.a.w.. Hal ini telah disebutkan dalam firman Allah:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah is mengerjakan amal yang saleh dan janganlah is mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi [18]: 110)
Jika amal itu sudah dilakukan dengan ikhlas, tetapi tidak benar, maka amal itu tidak bisa diterima. Begitu juga sebaliknya. Amal yang sudah benar, namun tidak dilakukan secara ihklas, juga tidak bisa diterima.
Ketika Ibnu Umar r.a. mendengar seseorang bersin dan kemudian orang tersebut mengucapkan, “Segala puji bagi Allah, semoga shalawat tetap pada Rasulullah,” Ibnu Umar menegurnya: “Tidak begitu ajaran Rasulullah kepada kita. Rasulullah bersabda, ‘Ketika salah satu kalian bersin, maka bertahmidlah kepada Allah,’ Rasulullah s.a.w. bukan mengatakan, ‘Dan hendaklah menyampaikan shalawat kepada Rasulullah. Kalimat [shalawat] itu merupakan penambahan yang diingkari oleh Ibnu Umar, walaupun penambahan tersebut adalah bacaan shalawat kepada Rasulullah s.a.w. Itu semua menunjukkan sifat berpegang teguhnya para shahabat terhadap syari’at [yang dibawa Rasulullah saw.]..
Sebagian “Orang Pintar” adalah Bodoh
Tak ada yang lebih besar dalam hal maksiat selain bodoh dalam hal agama. Ketika Imam Sahl ditanya, “Apakah Anda tahu risiko yang lebih besar daripada sifat bodoh?” Imam Sahl menjawab, “Ya, bodoh di dalam hal yang tidak dimengerti.” Kebodohan dalam hal agama ini bisa berdampak menutupi pintu keilmuan secara keseluruhan.
Ada banyak sekali orang yang memiliki keahlian terapi dengan Al-Qur’an dan berbagai macam zikir. Mereka hanya berfokus pada tujuan tertentu. Namun, karena mereka hidup pada masa yang masih dekat dengan jahiliyah atau masih jauh dari nilai-nilai agama dan ketaatan, mereka akhirnya mudah sekali diselewengkan oleh setan-setan yang memperdaya mereka, perbuatan mereka terlihat baik [padahal buruk]. Di antaranya: berduaan dengan lawan-jenis. Di antara mereka ada yang menangani peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan, semisal gangguan jiwa dan kematian. Setelah itu, mereka memanggil jin. Mereka senantiasa bergantung kepada jin, baik dalam menarik manfaat dan menolak kemudharatan maupun mengetahui hal-hal gaib. Mereka kemudian membakar semacam kemenyan atau lainnya dengan dalih bahwa si anu telah terkena gangguan jin ini dan jin itu.
salah, baik lantaran ceroboh maupun lantaran bodoh. Maka dari itu, jadikanlah dirimu seperti salaf ash-shalih. Mereka berpijak pada keilmuan dan lebih dahulu [mengetahui sunnah Rasulullah] daripada kamu.” (HR. Abu Dawud)
Sahl berkata, “Seseorang di antara kalian tidak mengatakan bid’ah sampai iblis membisikinya bahwa perbuatan itu bernilai ibadah, kemudian orang-orang menganggapnya ibadah pula. Kemudian iblis membisikkan bahwa perbuatan tersebut bid’ah. Namun, ketika seseorang mengatakan bahwa itu bid’ah, dan orang-orang meninggalkannya, maka ia menjadi terpencil.”
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Bid’ah lebih disukai iblis daripada maksiat. Pasalnya, maksiat dapat ditebus dengan taubat, sedangkan bid’ah tidak ada taubatnya.”
Diceritakan, ada seorang laki-laki mendatangi Imam Malik seraya berkata, “Saya ingin melakukan ihram. Dari mana saya harus ihram?” Imam Malik menjawab, “Dari tempat ihram yang pernah dilakukan Rasulullah, yaitu dari Dzul Hulaifah.” Laki-laki tersebut berkata, “Saya ingin berihram dari tempat yang lebih jauh lagi.” Imam Malik berkata kepadanya, “Jangan lakukan itu!” Laki-laki tersebut bertanya keheranan, “Mengapa tidak boleh?” Imam Malik menjawab, “Saya takut jika terjadi kerusakan.” Laki-laki tersebut bertanya lagi, “Kerusakan apa yang akan terjadi dalam penambahan kebaikan?” Imam Malik kemudian membacakan ayat kepadanya: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nuur [24]: 63)
Penyalahgunaan Zikir dan Al-Qur’an
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda, “Jauhkan dariku ruqyah-ruqyah kalian.”
Pada saat ini, kita sangat membutuhkan penjelasan ruqyah dengan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Soalnya, terkadang orang yang melakukan terapi dengan Al-Qur’an pun berinteraksi dengan jin secara haram. Di antaranya:
Mungkin jin tersebut sebenarnya telah Islam, namun kemudian menjadi pengajar mereka. Juga, mereka menyediakan air yang dibacakan mantera guna menangani orang-orang sakit atau pun yang terkena gangguan. Ini dilakukan di dalam masjid.
Semuanya itu mereka lakukan dengan dalih memberikan terapi dan menolong orang yang terzhalimi. Lama kelamaan, orang-orang sering mengadu bahwa pinangannya gagal, terlambat menikah, menjumpai barang yang diduga mempunyai kekuatan gaib, dan sebagainya. Lantas, ada banyak bacaan tentang jin dan sihir yang menyebarkan berbagai takhayul tersebut.
Nah! Apakah kita masih harus menunggu terapi terhadap gangguan akidah? Apakah dokter yang bodoh dapat memberikan pengobatan yang baik kepada para pasien?
lbnu Mas’ud berkata, “Pelajarilah ilmu sebelum [ilmu itu] diambil. Pengambilan ilmu itu dengan mengambil [nyawa] para ahlinya. Waspadalah, perketatlah, perdalamlah, dan hati-hatilah dalam masalah bid’ah…. Yang selamat adalah yang berpegang pada jalan yang lurus, dan yang lurus itu [adalah yang telah ditempuh] oleh para salaf ash-shalih [yakni: orang-orang shaleh terdahulu]. Kalau bisa demikian, maka mereka [bagaikan] pedagang yang beruntung.”
Seseorang menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz menanyakan qadar. Kemudian Umar bin Abdul Aziz membalas, “Amma ba’du. Sesungguhnya aku berwasiat kepadamu agar bertakwa kepada Allah, tidak berlebihan dalam semua persoalan-Nya, mengikuti sunnah Rasulullah, meninggalkan perbuatan yang dibuat-buat oleh orang-orang setelah adanya kejelasan dari sunnah Rasul-Nya. Anda harus mengikuti kelompok kaum muslimin. Insya’ Allah ini dapat menjadikanmu sebagai penjaga. Ketahuilah bahwa seseorang tidak mungkin melakukan perbuatan bid’ah, kecuali sebelumnya telah ada rambu-rambu dari sunnah tentang perbuatan bid’ah itu sendiri. Sunnah hanyalah memberikan penerangan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan melakukan penyembelihan yang diperuntukkan bagi jin. Ada pula yang menggunakan bacaan-bacaan perlindungan yang syirik dan mengulang-ulang kalimat [mantera] yang maknanya tidak bisa dipahami.
Ada banyak sekali buku terapi dengan menggunakan Al- Qur’an yang membatasi jumlah zikir tertentu. Pada hal, sebenarnya Islam sendiri tidak memberikan batasan terhadap zikir yang dibaca.
Seringkali kita temukan dalam buku-buku seperti itu, bentuk anjuran zikir atau ayat, misalnya: dibaca 20 kali atau pun 200 kali. Sebenarnya, [pembatasan] tersebut tidak ada dalam syariat Islam. Pengarang buku itu sendirilah yang memberikan batasan.
Contohnya, kitab ltsbaat ‘ilaaj Jamii’ al-Amraadh bi Al-Qur’an Al-Kariim. Setelah sang pengarang mengetengahkan beberapa ayat yang bisa dijadikan obat, is berkata, “Ayat-ayat penyembuh dituliskan dalam sebuah piring Cina berwarna putih yang tidak ada hiasannya dengan memakai minyak za’faran dan bunga mawar. Kemudian ayat-ayat penyembuh dihapus dengan air, lalu disiramkan kepada si sakit. Dengan izin Allah, si sakit akan segera sembuh.”
Kita tidak mengerti dari mana si pengarang dapat membuat batasan-batasan seperti itu. Sebenarnya, penulisan ayat Al-Qur’an dalam masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Bagi yang memperbolehkan, apa dalilnya mensyaratkan bahwa piring yang dipakai harus buatan Cina berwarna putih dan tidak ada hiasannya? Bagaimana kalau si sakit tidak dapat sembuh pada waktunya?
Contoh tersebut hanya sekadar sampel. Apabila kita tuturkan semuanya dari umber aslinya, maka kita akan memperpanjang pembicaraan.
Kitab tersebut juga menyebutkan beberapa ayat dan surat Al-Qur’an yang harus dibacakan dalam jumlah tertentu dan pada penyakit tertentu pula. Misalnya: penyakit kanker, reumatik, beberapa penyakit kulit, dan penyakit dada. Pertanyaannya: Dari mana ia menemukan batasan-batasan seperti itu? Apakah ia mendapatkan pernyataan seperti itu dari Al-Qur’an atau pun hadits?
Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa zikir dan doa itu merupakan ibadah yang paling utama. lbadah itu pada dasarnya mengikuti sunnah, bukan mengikuti hawa nafsu. Doa dan zikir yang berasal dari Rasulullah adalah yang lebih utama. Sebagian manfaat yang dihasilkannya tidak dapat diungkapkan lewat lisan dan tidak dapat diketahui manusia.”
Tak seorang pun berhak memberlakukan sejenis zikir dan doa tanpa ada landasan tertentu, apalagi menjadikannya sebagai rutinitas ibadah. Sayangnya, ada banyak orang yang menekuni doa dan zikir tersebut seperti halnya mereka menekuni shalat-shalat fardhu. Padahal, semuanya itu tidak bernilai ibadah. Bahkan, itu merupakan bid’ah dan tentunya tidak akan diridhai Allah.
Ibnu Taimiyah berkata lagi, “Wirid atau zikir yang tidak syar’i itu terlarang. Sementara itu, di dalam zikir-zikir dan doa yang syar’i terdapat tujuan-tujuan yang dibenarkan syara’, sebagai tujuan akhir dari keinginan luhur. Karenanya, tidaklah berpaling kepada zikir-zikir versi bid’ah, kecuali orang-orang yang bodoh, ceroboh, dan melampaui batas.”
Al-Qadhi lyadh berkata, “Allah telah mengizinkan [kita] berdoa kepada-Nya. Allah telah mengajarkan doa dalam Al- Qur’an kepada makhluk-Nya. Rasulullah s.a.w. telah mengajarkan doa kepada umatnya yang memuat 3 hal: mengetahui masalah tauhid (mengesakan), mengetahui bahasa, dan memberikan nasihat kepada umat. Tidak selayaknya seseorang berpaling dari doa yang telah diajarkan Rasulullah. Kalau suatu kaum berpaling, setan menjajah mereka. Kemudian setan membuat rekayasa, sehingga gemar menciptakan doa-doa baru yang menandingi [doa-doa dari] Rasul. Yang terburuk, mereka menisbatkan doa-doa atau pun zikir-zikir tersebut kepada para Nabi dan orang-orang saleh.
Mereka mengatakan, ‘Ini doa Nabi Nuh, doa Nabi Yunus, doa Abu Bakar Ash-Shiddiq.’ Namun, takutlah kalian kepada Allah. Janganlah kalian menyibukkan diri dengan hadits-hadits, kecuali yang shahih [dan hasan].”
Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Al-Walid Ath-Tharthusy berkata, “Sangatlah mengherankan apabila Anda berdoa dengan memakai doa-doa yang ada dalam Al-Qur’an yang telah dipraktikkan oleh para Nabi maupun orang-orang yang saleh, tetapi kemudian Anda menyertainya dengan kalimat-kalimat dari para penyair dan penulis, dengan prasangka bahwa Anda berdoa dengan doanya para Nabi atau pun orang-orang saleh, kemudian Anda juga menggunakan doa-doa selain itu.”
Ruqyah yang Disyari’atkan
Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Amr bin Syuaib, dari bapak Syuaib, dari kakeknya yang berkata, “Rasulullah s.a.w. pernah bersabda,
“Barangsiapa mengobati, padahal kepakarannya dalam pengobatan tidak diketahui, maka dialah penanggungnya (jika ada sesuatu buruk menimpa si pasien).”
Al-Jauhari berkata, “Menurut orang Arab, setiap orang yang mahir adalah dokter (tabib).”
Abu Ubaidah berkata, “Asal arti kata tabib atau dokter adalah piawai dalam segala sesuatu dan mahir di dalamnya. Umpamanya, bila dikatakan bahwa ada seorang tabib, maka si tabib tersebut mahir dalam hal kedokteran, walaupun tidak dapat mengobati pasien.”
Ibnul Qayyim menyebutkan, “Sesungguhnya tanggungan itu dibebankan kepada tabib yang bodoh. Bila is menimba ilmu kedokteran, lalu mempraktikkannya tanpa dasar pengetahuan terlebih dahulu, maka itu sama halnya menyumbangkan kebodohannya untuk kehancuran jiwa. Dengan penuh kecerobohan, sang tabib mempersembahkan sesuatu yang tidak ia ketahui. Dia jelas tidak memahami penyakit. Maka dari itu, orang seperti dia pantas memikul beban tanggungan. Pendapat saya ini sudah merupakan kesepakatan para ulama.”
Al-Khithabi mengatakan, “Saya sendiri tidak menjumpai perbedaan pendapat bahwa bila seorang tabib bertindak ceroboh dan kemudian mengakibatkan hilangnya jiwa si pasien, maka dialah yang menanggungnya. Seseorang yang mengambil tindakan tanpa pengetahuan, atau bertindak melewati batas, sehingga tindakannya Asal arti kata tabib melahirkan malapetaka, maka ia harus atau dokter adalah menanggung diyat, namun gugur qishashnya. piawai dalam segala [Diyat = denda; qishash = pembalasan setimpal. sesuatu dan mahir di Maksudnya, ia harus membayar denda, tetapi dalamnya. ia tidak harus menyerahkan nyawanya.—Peny.]
Ini karena ia tidak berbuat sewenang-wenang tanpa seizin si sakit. Menurut versi kebanyakan para ahli fikih, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mengobati itu ditanggung oleh aqilah’nya.
Setiap muslim wajib memberlakukan [aturan] Islam. Hendaknya ia mau menerima kebenaran, dari siapa pun kebenaran itu datang. Hendaklah ia menolak kebatilan yang datang kepadanya, siapa pun orangnya. Barangsiapa berbuat bid’ah dan menyeleweng, maka dikatakan kepadanya, “Setiap bid’ah itu sesat walaupun dipandang baik oleh manusia.” Dikatakan juga kepada mereka, “Ikutilah jalan yang lurus dan jangan berbuat bid’ah, sebab kalian sudah tercukupi. Kalian harus berpegang pada kebiasaan para salaf ash-shalih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud.” Imam Syafi’i berkata, “Barangsiapa menganggap bagus sesuatu, maka berarti dia telah membuat syariat sendiri.”
Barangsiapa berbuat melampaui batas dan aniaya, maka dikatakan kepadanya, “Takutlah kamu kepada Allah. Berikanlah hak kepada setiap orang yang berhak atas hak tersebut. Mintalah keselamatan untuk jiwa anda, sebab keselamatan tidak dapat dibandingkan dengan segala sesuatu. Urusan berikutnya mungkin surga, tetapi mungkin pula neraka.”
Barangsiapa menolak terapi dengan Al-Qur’an dan mengesampingkan ruqyah syar’i, maka dikatakan kepadanya, “Janganlah Anda berseberangan dengan sesuatu yang telah datang dari Al-Qur’an, sunnah Rasulullah s.a.w., dan kesepakatan para ulama.” Intinya, semua kesalahan harus dikembalikan kepada individu masing-masing. Keadilan merupakan pondasi kekuasaan; dan itulah pondasi langit dan bumi. Allah berfirman,
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu, terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maa’idah [5]:8)
Tolak ukur yang harus digunakan dalam menimbang segala perkataan atau pun perbuatan adalah kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sesuatu yang cocok dengannya harus diterima. Sebaliknya, yang bertentangan dengannya harus ditolak. Setiap perkataan manusia dapat diterima atau pun ditolak, kecuali perkataan Rasulullah s.a.w..
Source : http://artikelterbaru.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar