Club Cooee

Kamis, 27 Oktober 2011

Pengobatan Dengan Al-QUR’AN


Pengobatan Ruqyah yang Disyari’atkan

Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Amr bin Syuaib, dari bapak Syuaib, dari kakeknya yang berkata, “Rasulullah s.a.w. pernah bersabda,

“Barangsiapa mengobati, padahal kepakarannya dalam pengobatan tidak diketahui, maka dialah penanggungnya (jika ada sesuatu buruk menimpa si pasien).”

Al-Jauhari berkata, “Menurut orang Arab, setiap orang yang mahir adalah dokter (tabib).”

Abu Ubaidah berkata, “Asal arti kata tabib atau dokter adalah piawai dalam segala sesuatu dan mahir di dalamnya. Umpamanya, bila dikatakan bahwa ada seorang tabib, maka si tabib tersebut mahir dalam hal kedokteran, walaupun tidak dapat mengobati pasien.”

Ibnul Qayyim menyebutkan, “Sesungguhnya tanggungan itu dibebankan kepada tabib yang bodoh. Bila ia menimba ilmu kedokteran, lalu mempraktikkan Pengobatan tanpa dasar pengetahuan terlebih dahulu, maka itu sama halnya menyumbangkan kebodohannya untuk kehancuran jiwa. Dengan penuh kecerobohan, sang tabib mempersembahkan sesuatu yang tidak ia ketahui. Dia jelas tidak memahami penyakit. Maka dari itu, orang seperti dia pantas memikul beban tanggungan. Pendapat saya ini sudah merupakan kesepakatan para ulama.”

Al-Khithabi mengatakan, “Saya sendiri tidak menjumpai perbedaan pendapat bahwa bila seorang tabib bertindak ceroboh dan kemudian mengakibatkan hilangnya jiwa si pasien, maka dialah yang menanggungnya. Seseorang yang mengambil tindakan tanpa pengetahuan, atau bertindak melewati batas, sehingga tindakannya melahirkan malapetaka maka ia harus menanggung diyat, namun gugur qishashnya. [Diyat = denda; qishash = pembalasan setimpal. Maksudnya, ia harus membayar denda, tetapi. ia tidak harus menyerahkan nyawanya.—Peny.]

Ini karena ia tidak berbuat sewenang-wenang tanpa seizin si sakit. Menurut versi kebanyakan para ahli fikih, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mengobati itu ditanggung oleh aqilah’nya.

Setiap muslim wajib memberlakukan [aturan] Islam. Hendaknya ia mau menerima kebenaran, dari siapa pun kebenaran itu datang. Hendaklah ia menolak kebatilan yang datang kepadanya, siapa pun orangnya. Barangsiapa berbuat bid’ah dan menyeleweng, maka dikatakan kepadanya, “Setiap bid’ah itu sesat walaupun dipandang baik oleh manusia.” Dikatakan juga kepada mereka, “Ikutilah jalan yang lurus dan jangan berbuat bid’ah, sebab kalian sudah tercukupi. Kalian harus berpegang pada kebiasaan para salaf ash-shalih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud.” Imam Syafi’i berkata, “Barangsiapa menganggap bagus sesuatu, maka berarti dia telah membuat syariat sendiri.”

Barangsiapa berbuat melampaui batas dan aniaya, maka dikatakan kepadanya, “Takutlah kamu kepada Allah. Berikanlah hak kepada setiap orang yang berhak atas hak tersebut. Mintalah keselamatan untuk jiwa anda, sebab keselamatan tidak dapat dibandingkan dengan segala sesuatu. Urusan berikutnya mungkin surga, tetapi mungkin pula neraka.”

Barangsiapa menolak terapi pengobatan dengan Al-Qur’an dan mengesampingkan ruqyah syar’i, maka dikatakan kepadanya, “Janganlah Anda berseberangan dengan sesuatu yang telah datang dari Al-Qur’an, sunnah Rasulullah s.a.w., dan kesepakatan para ulama.” Intinya, semua kesalahan harus dikembalikan kepada individu masing-masing. Keadilan merupakan pondasi kekuasaan; dan itulah pondasi langit dan bumi. Allah berfirman,

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu, terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (Al-Maa’idah [5]:8).

Tolak ukur yang harus digunakan dalam menimbang segala perkataan atau pun perbuatan adalah kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sesuatu yang cocok dengannya harus diterima. Sebaliknya, yang bertentangan dengannya harus ditolak. Setiap perkataan manusia dapat diterima atau pun ditolak, kecuali perkataan Rasulullah s.a.w..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer widget