Sakit yang diderita seseorang akan menghapuskan dosa-dosanya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. berikut.
“Apa yang menimpa seorang muslim, berupa kelelahan, kesulitan, kegelisahan, kesedihan, dan gangguan, hingga duri yang menusuk tubuhnya, niscaya dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya.” (Muttafaq ‘alaih)
Ibnu Mas’ud berkata, “Aku menemui Rasulullah saw. dan saat itu beliau terlihat sedang mengalami sakit berat. Aku pun kemudian bertanya, ‘Ya Rasulullah, saya dapati engkau sedang merasakan sakit yang berat.’ Beliau menjawab, ‘Ya, aku juga merasakan sakit, dengan kadar seperti sakit yang dirasakan oleh dua orang dari kalian.’ Aku bertanya, ‘Apakah dengan demikian engkau mendapatkan dua pahala?’ Beliau menjawab, ‘Benar seperti itu. Setiap muslim yang mendapat suatu kesakitan, seperti tusukan duri dan yang lebih besar dari itu, niscaya Allah swt. akan menghapus dosa-dosanya, seperti pohon menjatuhkan dedaunannya.’” (HR Bukhari)
Akan tetapi, orang yang sakit itu harus bersabar atas cobaan yang ia rasakan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Shuhaib bin Sinan bahwa Nabi saw. bersabda,
“Alangkah mengagumkannya kondisi orang beriman, karena seluruh perkaranya adalah baik (dan hal itu hanya berlaku bagi orang yang beriman). Jika ia mendapathan kenikmatan, ia bersyukur dan syukurnya itu akan menjadi kebaikan baginya. Adapun jika ia mendapathan kesulitan, ia bersabar; dan kesabarannya itu pun menjadi kebaikan baginya.” (HR Muslim)
Orang yang sakit itu boleh mengadukan sakitnya kepada dokter dan temannya, dengan syarat bahwa dalam menceritakan sakitnya itu ia tidak bersikap membenci sakit itu atau menampakkan kekalutan. Aisyah r.a pernah mengadu kepada Rasulullah saw., “Aduh, sakitnya kepala saya.” Oleh Rasulullah saw., ucapannya itu diluruskan, “Sebaliknya, katakanlah, ‘Saya merasa sakit di kepala.’ ”
Syarat yang lainnya adalah orang yang sakit itu memberikan pujian kepada Rabbnya sebelum dia mengatakan rasa sakitnya. Ibnu Mas’ud berkata, “Jika seseorang bersyukur sebelum dia mengucapkan kesulitannya, dia tidak dianggap sebagai orang yang mengeluh.”
Di antara adab atau etika Islam adalah agar seorang muslim menjenguk saudaranya yang sedang sakit, untuk membantu menenangkan hatinya. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,
“Berikanlah makan kepada orang miskin, jenguklah orang yang sedang saki( dan bebaskanlah orang yang dalam kepayahan (kesulitan).” (HR Bukhari dari Abu Musa)
Nilai mulia berziarah kepada orang sakit itu banyak, di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa yang menjenguk orang sakit maka seorang malaikat di langit memanggil, ‘Engkau telah berbuat baik, perjalananmu juga baik, dan engkau telah mengambil tempat di surga.”‘ (HR Ibnu Majah)
Orang yang menjenguk orang sakit disunnahkan untuk mendoakan si sakit agar ia disembuhkan. Juga memberinya nasihat agar bersabar menghadapi cobaan itu. Hal itu sebagaimana hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Jika kalian menjenguk orang sakit, berikanlah ia harapan untuk panjang umur: Hal itu memang tidak mengubah suatu takdir sedikit pun, namun membuat gembira hati orang yang sedang sakit itu.”
Disunnahkan juga agar saat menjenguk tidak terlalu lama berada di situ, sehingga tidak membuat sulit orang yang sakit. Dibolehkan menjenguk orang kafir yang sakit, berdasarkan riwayat dari Anas r.a. bahwa ada seorang anak Yahudi yang menjadi pembantu Nabi saw. di rumah. Ketika anak itu sakit maka beliau menjenguknya. Selanjutnya beliau bersabda kepadanya, “Masuk Islamlah kamu.” Anak itu pun langsung masuk Islam.
Disunnahkan juga orang yang menjenguk untuk meminta doa dari orang yang sakit bagi orang yang menjenguknya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Jika engkau menjenguk seorang yang sedang sakit, mintalah doa kepadanya bagimu, karena doanya bernilai seperti doa malaikat.”
Orang yang sakit itu juga harus mengunjungi dokter untuk mengobati sakitnya. Berdasarkan hadits Nabi saw.,
“Allah swt. tidak hanya menurunkan sakit, namun juga menurunkan obatnya, maka berobatlah kalian.” (HR an-Nasa’i dan lainnya)
Berobat dengan barang yang haram, diharamkan oleh beberapa orang fuqaha secara mutlak, sementara dibolehkan oleh ulama yang lain jika dalam kondisi darurat. Pendapat yang terakhir itu adalah pendapat yang rajih, jika tidak ada obat yang halal yang menjadi penggantinya. Karena, Rasul saw. memberikan izin kepada Abdurrahman bin Auf untuk mengenakan pakaian sutra ketika ia terserang penyakit kulit. Beliau juga memberikan izin kepada orang-orang dari suku Urainah untuk meminum kencing unta sebagai obat mereka, padahal kencing unta adalah najis menurut banyak fuqaha.
Boleh berobat kepada dokter nonmuslim, jika dokter tersebut bersikap tepercaya, terkenal jujur, dan pakar dalam pengobatan. Dokter pria boleh mengobati pasien wanita, jika tidak terdapat dokter wanita atau ada dokter wanita namun tidak mempunyai keahlian yang sama dengan dokter pria.Ia boleh melihat ke bagian tubuh yang akan ia obati, meskipun itu adalah aurat yang vital, jika memang penyakitnya berada di situ. Demikian juga bagi pasien pria terhadap dokter wanita, ia boleh berobat ke dokter wanita dalam kondisi darurat, jika tidak terdapat dokter pria, atau ada namun tidak memiliki keahlian yang mencukupi.
Boleh juga berobat dengan doa-doa, baik yang dibaca oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw. ketika beliau mendoakan anggota keluarga beliau,
“Ya Allah, Rabb bagi sekalian manusia, hilangkanlah segenap penyakit. Berikanlah kesembuhan dan Engkau adalah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang Engkau berikan. Kesembuhan yang tidak meninggalkan bekas penyakit.”
Kemudian beliau mengusapkan tangan kanan beliau ke bagian tubuh yang sakit. Nabi saw. mendoakan Hasan dan Husein,
“Aku berlindung bagi kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari gangguan setan dan binatang berbisa, serta dari setiap mata yang tajam.”
Kemudian beliau bersabda,
“Nenek moyang kalian (Ibrahim), berdoa dengan doa itu bagi Isma’il dan Ishaq.” (HR Bukhari)
Diriwayatkan bahwa Utsman bin Abil-Ash mengadu kepada Rasulullah saw. akan rasa sakit yang ia rasakan di tubuhnya. Kemudian Rasulullah bersabda kepadanya,
“Letakkanlah tanganmu ke bagian tubuhmu yang terasa sakit. Dan bacalah, Bismillah dengan nama Allah’ (sebanyak tujuh kali).
Dan ucapkan,
‘Aku berlindung dengan keagungan Allah dan kuasa-Nya dari kejahatan yang aku jumpai dan aku khawatirkan;
Utsman berkata, ‘Hal itu aku rasakan berkali-kali, dan dengan itu Allah menghilangkan sakit yang aku derita. Dan, aku selalu memerintahkan keluargaku dan orang lain untuk membaca doa itu.’” (HR Muslim)
Juga dengan doa-doa ma’tsur lainnya. Disunnahkan bagi orang yang sakit untuk berobat ke dokter terlebih dahulu, kemudian diiringi dengan membacakan, atau setelahnya. Atau, dalam pengobatan penyakit jiwa dan dan pengobatan ruhani.
Haram berobat dengan jampi-jampi, jimat, dan semacamnya. Berdasarkan hadits berikut.
“Siapa yang menggantungkan jimat maka Allah tidak akan menyempurnakan dirinya. Dan, siapa yang menggantungkan jimat penjaga maka Allah tidak akan menjaga dirinya.” (HR Ahmad dan lainnya)
Banyak ulama yang membolehkan menggantung doa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sementara sebagian yang lain menolaknya. Barangkali pendapat yang terakhir adalah pendapat yang paling kuat sehingga tidak ada lagi penggantungan jimat sama sekali.
Orang yang terkena penyakit menular, hendaknya tidak melakukan kontak dengan orang-orang sehat, sehingga mereka tidak tertular penyakit menular itu, seperti epidemi, AIDS, dan sebagainya. Karena, Rasulullah saw. bersabda,
“Hendaknya jangan dekatkan orang yang sakit dengan orang yang sehat.”
Diriwayatkan bahwa seorang lelaki datang ke Madinah untuk membaiat Rasulullah saw. dan orang tersebut mempunyai penyakit kusta. Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang untuk menerima baiatnya dan beliau tidak memberi izin kepadanya untuk memasuki Madinah, sehingga penyakit itu tidak menyebar di Madinah. Ini yang sekarang dinamakan sebagai karantina. Juga berdasarkan hadits,
“Jika terdapat wabah penyakit (epidemi) pada suatu daerah, dan kalian berada di luar daerah tersebut, janganlah kalian memasuki Kota tersebut. Sedangkan jiha kalian berada di dalamnya, janganlah kalian keluar darinya.”
Diriwayatkan bahwa Umar ibnul-Khaththab r.a. menghindari penyakit epidemi yang berada di Syam. Melihat hal itu, Abu Ubaidah berkata, “Apakah engkau akan melarikan diri dari qadar Allah?” Umar menjawab, “Seandainya orang lain yang mengucapkan pertanyaan itu, masih dimaklumi, wahai Abu Ubaidah. Saat ini, kita lari dari qadar Allah kepada qadar Allah.” Ketika Abdurrahman bin Auf meriwayatkan hadits sebelumnya, yang tidak diketahui oleh Umar dan Abu Ubaidah, maka Umar r.a. mengucapkan syukur dan pujian kepada Allah.
Orang yang sakit dan lainnya disunnahkan untuk selalu mengingat kematian dan bersiap menghadapi kematian itu dengan amal saleh. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Perbanyaklah menyebut penghancur kelezatan (yaitu kematian). ” (HR ath-Thabrani)
Dari Ibnu Mas’ud r.a. dari Rasulullah saw. tentang firman Allah swt.,
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.” (al-An’aam: 125)
Beliau bersabda,
“jika cahaya masuk ke dalam hati maka hati akan merasa luas dan lapang.’ Para sahabat bertanya, ‘Apakah hal itu ada tanda-tandanya?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu beramal Untuk negeri yang kekal, meninggalkan negeri dunia yang penuh tipu daya, dan bersiap menjemput kematian sebelum kematian itu datang.’” (HR Ibnu Jarir)
Hadits ini mempunyai beberapa mata rantai periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain.
http://artikelterbaru.com
Source :