Kemiskinan sebagai gejala dalam masyarakat sudah dikenal sejak makhluk manusia menghuni bumi, tetapi kesadaran untuk memeranginya guna mewujudkan pemerataan baru mulai berkembang setelah timbul hubungan antar-bangsa dan negara yang sekarang bertambah erat, sehingga juga kita dapat membandingkan mana yang kaya dan mana yang miskin. Sepanjang dapat kita telusuri kembali sejak manusia beragama, kemiskinan sudah diakui ada, dan semua agama juga mengandung perintah
agar nasib kaum papa diperbaiki. Si kaya harus membagikan sebagian kekayaannya kepada si miskin karena Allah Sang Pencipta memberikan segala sumberdaya alam di bumi untuk dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh mahluk manusia secara merata.. Tetapi kemudian manusia menggagas dan merekayasa tatanan masyarakat dan ekonomi yang membeda-bedakan penguasaan dan pemanfaatan atas sumberdaya alam yang kaya. Demikianlah timbul pelapisan dalam kehidupan bermasyarakat manusia, sehingga yang kaya menguasai yang miskin.
Salah satu kupasan menarik tentang hubungan antara agama Kristiani dan tumbuhnya Kapitalisme pernah ditulis oleh R.H. Tawney (1938) yang dalam kesimpulan beliau mengutip ahli ekonomi J. M. Keynes yang berpendapat : “Modern Capitalism is absolutely irreligious…” sehingga akibatnya keadilan, kemiskinan dan pemerataan tidak terlalu diperhatikan. Ratusan tahun sebelum Masehi, Farao di Mesir sudah mengenal dan memelihara perbudakan. Di semua benua yang kita kenalpun ada Raja-raja yang membeda-bedakan lapisan masyarakat menurut keturunan, sehingga siapapun yang tidak tergolong “darah biru” hanya bernasib mengabdi kepada Raja dan “kaum ningrat”. Ada kemajuan sosial berarti setelah sistim perbudakan menjelang akhir abad ke-19 di beberapa negara dilarang dan selangkah lebih maju lagi waktu Serikat Bangsa-bangsa (United Nations) melarang segala bentuk perbudakan, yaitu dalam bentuk 33 negara anggota yang menandatangani UN Convention 1956. Namun demikian berbagai bentuk eksploitasi kaum papa oleh mereka yang berkuasa dan kaya masih berlangsung di banyak negara.
Perlakuan pekerja dan buruh sebagai budak dalam sistim ekonomi mutakhir pun masih terjadi dewasa ini dan mungkin berbenih dalam pemikiran ahli ekonomi klasik Adam Smith (1776) yang mengemukakan prinsip “Survival of the Fittest”, mirip dengan kehidupan di hutan rimba. Dalam kancah persaingan yang kuat akan menang dan yang lemah akan musnah. Prinsip demikian sebenarnya dalam ekonomi liberal masih berlaku juga antara perusahaan besar dan kecil, walaupun cara bersaing semakin ditertibkan melalui undang-undang, peraturan dan hak azasi manusia di ranah hukum.
Bahkan menurut Susan George (1976) kecuali perusahaan swasta juga ada lembaga-lembaga internasional seperti misalnya Bank Dunia (IBRD dan IDA) yang melalui Food Aid menyatakan membantu memerangi kemiskinan, namun dalam kenyataan membuat negara-negara berkembang semakin tergantung pada negara industrial yang maju. Karena itu S. George menyarankan agar negara-negara berkembang berusaha keras melakukan pembangunan nasional secara lebih mandiri. Tentu - menurut kesimpulan penulis – usaha itu harus dimulai dengan membenahi struktur agraria agar sektor pertanian yang produktif menyumbang kearah industrialisasi.
Pemahaman dan Kesadaran AKATIGA.
Memahami dan menyadari perkembangan sebagai dikemukakan diatas Yayasan AKATIGA sejak lahirnya (September 1991), sebagai pewaris lembaga penelitian IPB (Sosiologi Pedesaan) – ITB (Lingkungan Hidup) – ISS (Social Studies, Den Haag) yang bekerja sama antara tahun 1987-1991, turut menyumbangkan melalui penelitian gagasan untuk mengurangi kemiskinan. Penelitian di daerah pedesaan mengenai masalah agraria dan petani gurem, maupun di perkotaan mengenai buruh, UKM dan pemberdayaan perempuan menjadi perhatian utama. Gerakan perbaikan nasib golongan miskin dan tersisihkan di dunia sebenarnya sudah timbul di beberapa negara Eropa dan Amerika Latin menjelang akhir abad ke-19.
Nama-nama seperti Lenin dan Stalin di Rusia, Simon Bolivar di Bolivia dan Emilio Zapata di Mexico tercatat sebagai pendekar pembebas lapisan tertindas. Juga gerakan Demokrasi Sosial yang timbul di Jerman dan meluas ke negara-negara Eropa lain memperjuangkan perbaikan nasib buruh dari eksploatasi industriawan. Di negara-negara benua Asia kemudian tumbuh Nasionalisme seperti di India (J. Nehru), Tiongkok (Sun Yat Sen) dan di negara kita sendiri dengan lahirnya Boedi Oetomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1912) dan Sarekat Islam (1916). Perkembangan Nasionalisme lebih dipacu lagi setelah dua perang dunia (1914-18 dan 1940-45) karena dominasi negara-negara industrial barat.
Di Asia setelah Jepang dikalahkan oleh Amerika Serikat dengan bom-atom, negara-negara bekas jajahan Inggris, Belanda, Perancis dan Amerika Serikat berhasil membebaskan diri dan menjadi negara merdeka yang sekarang kita kenal sebagai negara berkembang. Memang ada yang merebut kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata seperti Indonesia dan Vietnam tetapi ada pula yang menerima kedaulatan secara damai seperti India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan Singapore. Sebagai telah diramalkan oleh S. George negara-negara industri maju segera menawarkan bantuannya, baik dalam bentuk produk, hasil industri, pinjaman modal (loan) atau keahlian teknologi agar ketergantungannya tetap terpelihara. Hubungan demikian sering disebut : “Politically independent and economically dependent”
Pembangunan dan Kemiskinan.
Periode setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia untuk dua dasawarsa penuh dengan kegoncangan politik, dari gerakan DII/TII, APRA, PRRI dan PERMESTA, konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura dan akhirnya dengan Belanda tentang Irian Barat. Ketenangan politik nyatanya baru tercapai setelah peristiwa G-30-S di tahun 1965 dan lahirnya Orde Baru (1966). Memang dibawah pemerintah Bung Karno dan Bung Hatta pernah ada perumusan tentang Pembangunan Nasional 1956-1961, dan kemudian Pembangunan Semesta (1961-1969), tetapi akibat banyak kegoncangan politik praktis tidak ada hasil yang nyata dalam hal menurunkan kemiskinan.
Selama pemerintahan dibawah Jenderal Soeharto ynag lebih sentralistik ada beberapa usaha yang lebih nyata: pertama pelaksanaan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi padi dengan mengimpor teknologi baru seperti pupuk kimia, obat-obatan melawan serangga, perbaikan dan perluasan jaringan pengairan dan mekanisasi pertanian. Akibatnya kegiatan di daerah pedesaan meningkat, tetapi sekaligus juga timbul rasionalisasi dalam masyarakat tani. Penanaman padi semakin membutuhkan luas areal sawah, sehingga petani gurem (<0,5 Ha) tersisihkan. Bila tidak menjadi buruh tani diatas tanah sendiri dan bekerja untuk tuan tanah besar, mereka menawarkan tenaganya di sektor informal perkotaan. Sistim panen bersama oleh kaum perempuan (derep) dan memperoleh bagian tertentu dari hasil (bawon) hilang, diganti dengan pemanen bayaran (tebasan).
Jadi revolusi hijau meningkatkan kegiatan di pedesaan serta hasil panen padi sehingga mencpai swa sembada beras (1985), tetapi dipihak lain juga mengurangi pekerjaan bagi buruh tani (tunakisma) dan petani gurem yang terpaksa “mengelaju” ke kota. Gejala Preman, Mang Ogah, Pengemis, Pengamen, Pencopet, Buruh lepas dan sebagainya makin tampak di daerah perkotaan. Perkembangan yang kurang menggembirakan itu menarik perhatian UNICEF juga dan dengan biaya lembaga PBB tersebut Prof. Sajogyo diminta melakukan evaluasi tentang Usaha Perbaikan Gizi Keluarga di tahun 1973/1974. Hasil studi berdasarkan survey luas di 15 Kabupaten seluruh Indonesia yang penting itu melahirkan suatu suatu Garis Kemiskinan untuk penduduk Indonesia. Setelah itu Biro Pusat Statistik dan juga Bank Dunia menyambung dengan survey yang menambah kriteria garis kemiskinan tersebut.
Sekarang beberapa kriteria dapat dimanfaatkan untuk menilai kemiskinan karena Bank Dunia menambah dengan kriteria dibawah USD $ 1,00 / 2,00 sehari per kapita. Biro Pusat Statistik, Departemen dan Bank Dunia mulai mengadakan survey untuk memantau perkembangan tersebut dan dalam rangka inilah juga dimulai studi oleh beberapa Universitas. Kerjasama antara Institut Pertanian Bogor – Institut Teknologi Bandung – dan institute of Social Studies dari Negeri Belanda melakukan studi tentang keadaan dan perkembangan di daerah pedesaan (1987-1991). Peneliti-peneliti ada yang senior seperti Dr. B. White, Dr. Joan Hardjono, Dr. Ines Smith, tetapi juga ada peneliti Indonesia yang muda. Pimpinan ada di tangan tiga ahli: Prof. Sajogyo (IPB-Sosiologi Pedesaan) – Prof. Hasan Poerbo alm. (ITB Lingkungan) dan Prof. B. White (I.S.S. Anthropology) yang sekaligus menjabat Acting Director di kantor Pusat (Jl. Raden Patah 28 Bandung).
Tanpa mengulas semua hasil penelitian selama 1987-1991, tetapi hasil umumnya jelas menunjukkan bahwa daerah pedesaan menghadapi permasalahan seperti Agraria, kemiskinan, pengangguran, usaha kecil dan peranan perempuan yang segera perlu ditangani karena mengurangi penderitaan juga memerlukan waktu yang cukup lama. Ukuran dan definisi kemiskinan memang masih berbeda-beda. Prof. Sajogyo di tahun 1974sudah berhasil merumuskan “garis kemiskinan” berdasarkan nutrisi (pangan per kapita) - ada statistik BPS yang menggunakan “pengeluaran per kapita “ per hari/bulan, sedangkan Bank Dunia berpatokan pada “penghasilan per kapita sehari” (dibawah USD $ 1,00 atau USD $ 2,00). Departemen Pertanian sering menggunakan kriterium “luas tanah garapan” atau “hasil produksi” dan BKKBN pernah menerapkan kriterium “kualitas tempat tinggal”.
Sebenarnya menarik untuk mengkombinasikan beberapa kriteria tersebut. Menurut Prof. R. Lawang (2002) yang mengutip BPS penduduk Indonesia tahun 2001 berjumlah 201.703.537 jiwa (dugaan 2007 sudah melebihi 220 juta) atau 43,12% dan tinggal di perkotaan, sedangkan 56,88% masih tinggal di daerah pedesaan. Memang dari beberapa sumber statistik timbul gambaran bahwa kemiskinan antara 1970-1987 menurun. Misalnya BPS yang menggunakan kriterium “pengeluaran per kapita” menghasilkan gambaran sebagai berikut :
Source : http://www.akatiga.org/index
YANG MISKIN DARI JUMLAH PENDUDUK (sample)
Pedesaan Perkotaan
Juta orang % Juta orang %
1976 44,2 40,37 10,0 38,79
1980 32,8 28,42 9,5 29,04
1987 20,3 16,14 8,9 20,14
Dari sample ini tampaknya menurunnya % kemiskinan di perkotaan relatif kurang cepat dibandingkan dengan di pedesaan. Mungkin ini hasil produksi yang meningkat selama Revolusi Hijau. Menurut alm. Dr. Hendra Esmara, kemiskinan antara 1970 dan 1987 memang menurun untuk Pedesaan dari 48,5% sampai 44,8%, tetapi di perkotaan justru meningkat dari 7,1 % menjadi 14,6% atau naik lebih dari 100%, dan ini suatu gejala bahwa urbanisasi memang meningkat cepat. Bila kita kutip Laporan Bank Dunia (1990) dapat dibaca bahwa walaupun penduduk miskin (nasional) antara 1980-1987 turun dari 42,3 juta (28,6%) sampai 30,0 juta (17,4%), namun sebagai diumumkan pemerintah masih ada sekitar 39 juta (17%) yang miskin dewasa ini (2007).
Urbanisasi merupakan jalur pelarian bagi buruh tani dan petani gurem yang dapat menetap di kota atau menjadi pengelaju. Satu contoh adalah hasil studi J. Breman dan G. Wiradi (2005) setelah krisis ekonomi Agustus 1997 juga melanda negeri kita. Ternyata pasang surut kemiskinan masih akan menggejala sehingga memerlukan perhatian lembaga pemerintahan baik pusat maupun daerah, peneliti akademik maupun LSM yang menunjang dan mendorong proses demokratisasi inilah yang juga menjadi tujuan yayasan AKATIGA. Kalangan pemerintah maupun media masa tidak jarang memberitakan bahwa keadaan sudah membaik dibandingkan 1998, karena pertumbuhan ekonomi sudah melampaui sasaran, tetapi ternyata dari berita-berita internasional bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berdampak langsung pada penurunan kemiskinan. Bukan saja hal ini kita alami di negeri kita tetapi juga diberitakan antara lain di terbitan mingguan Newsweek (2007).
Baik di India yang pertumbuhan ekonominya mencapai 8% setahun dan di RRC yang selama satu dasawarsa mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi 10% setahun kemiskinan di daerah pedesaan masih menggejala. Untuk para pembaca yang tertarik dan masih memperihatinkan kemiskinan dalam proses Reformasi negara kita dilampirkan daftar sejumlah terbitan mengenai kemiskinan dan usaha memeranginya. Kebijakan pembangunan Indonesia sebagai negara agraris memang kurang membenahi struktur agraria dalam arti luas, dan lebih cenderung menjual kekayaan sumberdaya alam (M. Humpreys dkk, 2007), yang berakibat pertanian mengurangi kedaulatan pangan, timbulnya kemiskinan dan pengangguran serta penjualan tenaga kerja murah meningkat. Pada umumnya modal asing yang ditanam atau dipinjam lebih bersifat “padat modal” sehingga kesempatan kerja pun terbatas.
Jadi bila kita masih ingin mewujudkan keadilan dan pemerataan nasional, penguasaan dan akses terhadap sumberdaya alam, ialah bumi, air dan ruang angkasa (lingkungan) harus diatur lebih merata pula. Mari kita perangi Kutukan Sumberdaya Alam !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar