Kecenderungan masyarakat memilih bentuk yayasan disebabkan karena:
a. Proses pendiriannya sederhana;
b. Tanpa memerlukan pengesahan dari pemerintah,
c. Persepsi masyarakat bahwa yayasan bukan merupakan subjek pajak (Setiawan, 1992:201).
Pengakuan yayasan sebagai badan hukum berarti ada subjek hukum yang mandiri. Secara teoretis, adanya kekayaan yang terpisah, tidak membagi kekayaan atau penghasilannya kepada pendiri atau pengurusnya, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai organisasi yang teratur, dan didirikan dengan akta notaris (Tobing, 1996, 6 Pitlo, 1986 : 335, Ali, 1987 : 70) merupakan karakter yayasan. Ciri tersebut memang cocok dengan ciri-ciri badan hukum pada umumnya, yaitu adanya kekayaan yang terpisah, adanya tujuan tertentu, adanya kepentingan sendiri, dan adanya organisasi yang teratur (Pramono, 1947 : 24, Rido. 1977 : 56).
Berdasarkan hukum kebiasaan dan asuransi hukum yang berlaku umum di masyarakat.
ciri-ciri yayasan dapat dirinci sebagai berikut:
1. Eksistensi yayasan sebagai entitas hukum di Indonesia belum didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pengakuan yayasan sebagai badan hukum belum ada dasar yuridis yang tegas, berbeda halnya dengan PT, Koperasi, dan badan hukum yang lain.
3. Yayasan dibentuk dengan memisahkan kekayaan pribadi pendiri untuk tujuan nirlaba, tujuan religius, sosial keagamaan, kemanusiaan, dan tujuan ideal yang lain.
4. Yayasan didirikan dengan akta notaris atau dengan surat keputusan pejabat yang bersangkutan dengan pendirian yayasan.
5. Yayasan tidak memiliki anggota dan tidak dimiliki oleh siapa pun, namun mempunyai pengurus atau organ untuk merealisasikan tujuan yayasan.
6. Yayasan mempunyai kedudukan yang mandiri sebagai akibat adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi pendiri atau pengurusnya, dan mempunyai tujuan sendiri yang berbeda atau lepas dari tujuan pribadi pendiri atau pengurus.
7. Yayasan diakui sebagai badan hukum seperti halnya orang, sebagai subjek hukum mandiri yang dapat menyandang hak dan kewajiban mandiri, didirikan dengan akta, dan didaftarkan di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
8. Yayasan dapat dibubarkan oleh pengadilan dalam kondisi pertentangan tujuan yayasan dengan hukum, likuidasi, dan pailit (Sri Rejeki, 1999 : 56, Tobing, 1990 : 6-8).
Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2001, yayasan telah diakui sebagai badan hukum privat di mana subjek hukum mandiri terlepas dari kedudukan subjek hukum Para pendiri atau pengurusnya. Sebagai subjek hukum mandiri, yayasan dapat menyandang hak dan kewajiban, menjadi debitor maupun kreditor, dan melakukan hubungan hukum apa pun dengan pihak ketiga. Legalisasi badan hukum menurut UU Yayasan adalah saat akta pendiriannya, yang dibuat di hadapan Notaris, disahkan oleh Menteri Hukum dan Perundang-undangan dan HAM.
Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu 5 (tahtm), dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan atau sumbangan masyarakat sebagai akihar berlakunya suatu peraturan perundang-undangan wajib mengumumkan ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 52 Ayat (1) UU Yayasan yang mencakup kekayaannya selama 10 (sepuluh) tahun, sebelum UU Yayasan diundangkan. Pengumuman ini tidak menghapus hak dari pihak berwajib untuk melakukan pemeriksaan, penyidikan, dan penuntutan apabila teriadi pelanggaran hukum.
Yayasan sebagai Entitas Hukum Privat
Saat ini, ada banyak sekali yayasan yang berdiri di Indonesia dengan berbagai bidang yang digelutinya. Ditinjau dari cara pendirian atau pembentukannya, yayasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu yayasan yang didirikan oleh pnguasa atau pemerintah, termasuk BUMN serta BUMD, dan yayasan yang didirikan oleh individu atau swasta.
Yayasan yang didirikan oleh Pemerintah, sebelum keluarnya UU Yayasan, disahkan dengan Surat Keputusan dari Pejabat yang berwenang dan/atau akta notaris. Kekayaan awal yayasan seperti ini dapat diambilkan dari kekayaan negara yang “dipisahkan atau “dilepaskan penguasaannya” dari pemerintah dan dari kekayaan pribadi. Sebelumnya pernah diperdebatkan: Apakah pada tempatnya Penguasa atau Pemerintah mendirikan yayasan yang pada hakikatnya merupakan entitas hukum privat? Peraturan perundang-undangan yang melarang hal itu memang belum ada. Pertanyaannya lebih ditujukan pada urgensi pendirian yayasan oleh pemerintah atau BUMN dan BUMD tersebut. Yayasan tersebut akan berada dalam bingkai hukum privat dengan segala konsekuensi yuridisnya. Kedudukan kekayaan negara yang “dipisahkan” atau “dilepaskan penguasaannya” itu secara yuridis mirip dengan “hibah”, sehingga segala konsekuensi penggunaan, pengelolaan, dan pengawasan atas kekayaan tersebut akan lepas sama sekali dari pihak yang memberi atau yang menghibahkan.
Yayasan yang didirikan oleh swasra atau perorangan, menurut UU Yayasan, harus didirikan dengan akta notaris. Kekayaannya dipisahkan dari milik para pendiri atau pengurus yayasan yang bersangkutan. Akta notaris tersebut harus didaftarkan di Kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
Dewasa ini, banyak yayasan didirikan dengan tujuan yang berbeda dan menyimpang dari tujuan semula, yaitu sebagai usaha yang menguntungkan seperti sebuah perusahaan yang melakukan lalu lintas dagang. Unsur-unsur menjalankan perusahaan, seperti membuat dokumen perusahaan, mempunyai izin usaha, dikenai pajak, menggaji pengurus, memperhitungkan atau menghitung untung-rugi lalu mencatatnya dalam pembukuan adalah ciri-ciri suatu kegiatan yang berbentuk hukum perusahaan. Tanda-randa yayasan mulai menyimpang dari tujuan semula, yang secara nyata, dituangkan dalam anggaran dasar suatu yayasan.
Dalam anggaran dasar diatur beberapa hal seperti keanggotaan yayasan yang abadi, di mana pendiri mempunyai kekuasaan mutlak dan abadi bahkan kedudukannya dapat diwariskan. Yayasan tersebut bergerak dalam bidang pendidikan. Pendiri berasumsi bahwa keuntungan yang diperoleh suatu saat akan tetap dikendalikan. Oleh karena itu, untuk mengamankan kedudukannya, di dalam anggaran dasar, kedudukan pendiri diatur sebagai abadi, dapat diwariskan, dan mernpunyai hak veto.
Dengan keluarnya UU Yayasan, eksistensi dan landasan yuridis Yayasan sebagai entitas hukum privat tidak perlu dipermasalahkan lagi atau tidak perlu diragukan. Yayasan pada hakikatnya adalah kekayaan yang dipisahkan dan diberi status badan hukum. Sebagai subjek hukum, organ yayasan difungsikan dengan sebutan Pembina; Pengawas, dan Pengurus. Analog dengan hukum PT. kedudukan Dewan Pembina itu sama dengan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Pengawas sama dengan Komisaris, dan Pengurus sama dengan Direksi.
Dengan demikian, Yayasan pada hakikatnya adalah:
a. Harta kekayaan yang dipisahkan
b. Harta kekayaan tersebut diberi status badan hukum,
c. Keberadaannya untuk tujuan tertentu di bidang sosial, kemanusiaan, dan keagamaan.
Secara teoretis, Yayasan dapat didirikan oleh satu orang, dua orang. atau lebih Yayasan tidak mempunyai anggota (semacam pemegang saham dalam dan eksistensinya hanya diperuntukkan guna mencapai tujuan tertentu dalam bidang sosial, kemannsiaan, dan keagamaan. Oleh karena itu, semua kegiatan yayasan harus diabdikan ke pncapaian tujuan tersebut. UU Yayasan menegaskan hal ini dengan melarang pembagian hasil usaha kepada organ Yayasan, dengan ancaman pidana.
Praktek peradilan selama ini terfokus pada syarat pemisahan harta kekayaan dan akta notaris sebagai syarat pendirian Yayasan. Syarat pemisahan harta kekayaan sangat banyak dijadikan alasan menurut para pengurus yayasan, karena pada umumnya hasil usaha Yayasan telah dijadikan objek perebutan kedudukan dalam kepengurusan Yayasan. Anak keturunan para pendiri sering menjadi pihak yang berperkara, karena kelemahan organisasi yayasan nampak dengan alasan subjektif. Isi akte pendirian sering dijadikan alasan untuk mengalihkan harta kekayaan yayasan, seolah-olah akta pendirian itu dapat diubah setiap saat ssuai dengan keinginan pengurus yayasan (Pnggabean, 2001, Pramono, 2001).
Praktek-praktek seperti diuraikan sebelumnya mulai diluruskan dengan UU Yayasan. Yayasan akan ditempatkan pada kedudukan yuridis sebagai badan yang berfungsi sosial, idiil, dan keagamaan. Yayasan boleh menjalankan kegiatan usaha, boleh mempunyai sisa hasil usaha, tetapi tidak boleh, profit oriented seperti halnya PT. Sisa hasil usaha boleh ada, tetapi tidak boleh dibagi kepada organ yayasan. Yayasan mendirikan badan usaha, misalnya PT, dengan modal usaha maksimal 25% dan seluruh aset.
Yayasan harus membuat laporan keuangan, di mana laporan keuangan itu harus diperiksa oleh akuntan publik untuk yayasan yang memiliki asset senilai Rp20 miliar lebih dan yang mendapat bantuan senilai Rp500 juta ke atas. Laporan Keuangan tersebut harus diumumkan dan tembusannya harus disampaikan kepada Menteri.
Source : http://artikelterbaru.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar