Sementara, ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu berdasarkan hakikatnya atau suatu sifat yang dengan sifat tersebut sesuatu yang dicari dapat terungkap dengan sejelas-jelasnya. Yang dimaksud ilmu dalam pembahasan di sini adalah ilmu yang eksperimental.
Dengan demikian, mukjizat ilmiah adalah pemberitaan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang hakikat sesuatu yang dapat dibuktikan oleh ilmu eksperimental dan hal itu belum tercapai karena keterbatasan sarana manusia pada zaman Rasulullah saw. Hal itu merupakan bukti yang menjelaskan kebenaran Nabi Muhammad saw. tentang apa yang telah diwahyukan Allah SWT. Perlu diketahui bahwa setiap rasul mempunyai mukjizat yang sesuai dengan keadaan kaum dan masa risalahnya (baik secara intelektual, sosial maupun kultural).
Karena rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad saw. diutus kepada kaumnya untuk masa tertentu, Allah menguatkan dengan bukti-bukti yang kasat mata (realistis), seperti tongkat Nabi Musa a.s. Bukti-bukti ini terus berlangsung dengan kemampuan yang memuaskan pada masa yang terbatas untuk risalah setiap rasul. Ketika manusia menyelewengkan (mengubah) agama Allah, Dia mengutus seorang rasul lain dengan agama yang diridhai-Nya beserta mukjizatnya yang baru. Ketika Allah mengakhiri kenabian dengan Nabi Muhammad saw., Dia menjamin untuk menjaga agamanya dan menguatkannya dengan bukti terbesar yang selalu ada di antara manusia sampai hari kiamat. Allah berfirman:
“Katakanlah : ‘Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?’ Katakanlah: ‘Allah’. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qur’an ini diwahyuhkan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya).” (al-An’aam: 19)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
“(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya….” (an-Nisa’: 166)
Ayat tersebut diturunkan sebagai tanggapan terhadap pendustaan (penolakan) orang-orang kafir atas kenabian Muhammad saw. di dalamnya terdapat mukjzat ilmiah yang selalu aktual, sejalan dengan ilmu pengetahuan dan rains, serta berkaitan erat dengan pengertian wahyu Ilahi. AI-Khazin memberikan tafsir terhadap ayat di atas dengan mengatakan: “Allah memberikan bukti kenabian Muhammad dengan perantara Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya.”
Sehubungan dengan ayat tersebut Ibnu Katsir berpendapat: “Allah mengakui bahwa Muhammad adalah rasul-Nya yang diturunkan kepadanya kitab, yaitu Al-Qur’an al-adzim…. Karena itu, Allah berfirman: anzala bi ‘ilmihi’ Allah menurunkan dengan ilmu-Nya yaitu bahwa dalam Al-Qur’an ada ilmu-Nya yang Allah menghendaki hamba-hamba-Nya untuk meneliti dan mencari bukti-bukti yang membedakan antara yang benar dan salah, apa-apa yang dicintai dan diridhai Allah, apa yang dibenci dan ditolak-Nya dan apa-apa yang berhubungan dengan ilmu yang belum diktahui pada masa lalu dan akan datang.”
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa sesungguhnya pengakuan Allah tentang apa-apa yang telah diturunkan-Nya adalah pengakuan-Nya bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an dari-Nya dan Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya. Dengan demikian, khabar yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah khabar tentang ilmu yang lain, sebagaimana firman-Nya:
“Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu): Ketahuilah, sesungguhnya Al- Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah….” (QS 11:14)
Makna ayat di atas bukan berarti bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an sepengetahuan-Nya, karena segala sesuatu sudah tentu diketahui-Nya dan Allah menurunkan Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat ilmu-Nya. Sebagimana kita mengatakan bahwa seseorang berbicara dengan ilmunya, maka Allah SWT pun menurunkan wahyu dengan ilmu-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Al-Qur’an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi ….” (QS 25:6)
Demikianlah pendapat beberapa ahli tafsir serta jelaslah bukti bahwa wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad senantiasa aktual sepanjang masa. Nabi saw. bersabda:
“Tidak ada seorang Nabi pun kecuali kepadanya diberikan tanda-tanda yang dipercaya oleh manusia. Dan apa-apa yang diberikan kepadaku hanyalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadaku, maka aku berharap untuk menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.”
Ibnu Hajar menjelaskan syarah hadits di atas: “Mukjizat Al-Qur’an terus berlangsung sampai hari kiamat dan kekuatannya itu pada uslub (struktur kalimat)nya, balaghah (kejelasan ungkapan) dan pemberitaannya tentang hal-hal yang gaib. Maka tidak akan berlalu suatu masa kecuali pada waktu itu muncul sesuatu yang diberikannya bahwa itu akan ada yang menunjukkan kebenaran pengakuannya , maka manfaatnya melingkupi orang yang ada dan yang tidak ada, orang yang telah ada dan akan ada.”
Jadi, bukti ilmiah Al-Qur’an itu dapat dicapai oleh orang Arab maupun non-Arab serta tetap jelas dan aktual sampai hari kiamat. Berita-berita Al- Qur’an pun dapat kita ketahui maksudnya karena diungkapkan dengan bahasa Arab yang jelas, sementara hakikat dan rincian keadaannya semakin jelas seiring dengan perjalanan masa. Allah SWT berfirman:
“Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al- Qur’an setelah beberapa waktu lagi.” (QS 38:87-88)
Ibnu Jarir ath-Thahari berpendapat setelah menyebutkan beberapa pendapat yang banyak dalam menafsirkan al hiin yang tersebut dalam ayat tersebut: “Dan pendapat yang paling benar tentang hal itu adalah apa yang diungkapkan: Scsungguhnya Allah memberikan orang-orang yang musyrik tentang Al- Qur’an bahwa mereka mengetahui beritanya setelah beberapa waktu tanpa ada batasan untuk al hiin. Dan tidak ada batasan bagi al hiin menurut orang Arab, tidak melampaui dan tidak kurang dari batasan itu. Jika demikian, tidak ada pendapat yang lebih tepat tentang hal itu daripada pemutlakannya seperti Allah telah memutlakkannya tanpa adanya batasan waktu.
“Untuk tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.” (QS 6:67)
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah menghendaki menjadikan setiap berita dalam waktu tertentu akan menjadi nyata. Maka jika muncul kejadian dengan jelas, tampaklah arti yang dimaksud oleh huruf-huruf dan lafaz-lafaz dalam Al-Qur’an dan mukjizat ilmiah itu menjadi realitas pada suatu masa sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Dan Ibnu Jarir ath-Thabari berpendapat bahwa setiap berita itu ada waktu terjadinya, yaitu kepastian ketika berita itu menjadi pasti, dan batas proses itu berakhir agar kebenaran dan kesalahannya menjadi nyata dan begitu pula kebohongan dan kebatilannya.
Ibnu Katsir berpendapat: “Ibnu Abbas berkata bukan hanya sekali bahwa untuk tiap-tiap berita itu ada hakikatnya, yaitu bahwa untuk tiap-tiap berita itu ada kejadiannya walaupun setelah beberapa saat, sebagaimana firman Allah di atas. Allah pun berfirman:
“… Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu).” (QS 13:38)
Berita-berita bumi dan langit dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tampak lebih nyata pada abad penemuan ini. Al-Qur’an dan As-Sunnah sarat dengan berita-berita tentang alam dan rahasia-rahasianya, dan pada abad ini ilmu pengetahuan manusia dengan penemuan-penemuannya yang terus menerus di permukaan bumi dan langit, memberikan bukti tentang hakikat ilmu yang diwahyukan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Seperti diungkapkan dalam sebuah firman:
“… sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar ….” (QS 41:53)
Manusia pada saat ini telah mengumumkan untuk menerima ilmu sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran setelah lama terbelenggu dengan rantai taklid yang membabi buta. Maka dibangunlah ilmu pengetahuan dengan dukungan para ulama yang menganugerahkan segala tenaga untuk mengabdi kepada-Nya dan dukungan dana yang besar.
Ketika ilmu eksperimental belum mapan, Rasulullah memulai menjalankan risalah yang telah Allah tentukan untuknya dalam menjadikannya sebagai jalan menuju iman kepada-Nya dan saksi atas kebenaran Rasul-Nya. Rasulullah diturunkan kepada satu kaum yang mati-matian menolaknya, karena hendak melindungi berhala-berhala yang mereka sembah sejak dulu. Mereka adalah kaum yang meyakini khurafat dan sihir, perdukunan, mereka-reka nasib, khayalan, undian nasib, pesimisme kepada sebagian bulan, bergontok-gontokan, dan mencari perlindungan dari raja-raja jin di daerah pegunungan dan sungai-sungai.
Itulah contoh kesesatan pemikiran yang dimiliki orang Arab ketika Al- Qur’an diturunkan.
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS 62:2)
Kebanyakan orang Arab adalah buta huruf dan setelah Rasulullah saw. menganjurkan mereka untuk membaca, menulis, mempelajari ilmu dan berhitung, mereka tidak menemukan di hadapan mereka alat-alat tulis kecuali kulit binatang, batu-batu yang tipis dan pelepah kurma. Di atas semua itulah mereka menulis. Pada masa itu dan kepada umat itu wahyu turun, di dalamnya ada ilmu Allah yang menjelaskan rahasia-rahasia tentang bermacam-macam hal, merinci penciptaan dalam diri manusia, menginformasikan asal-usulnya, menjelaskan rahasia-rahasia saat ini dan menerangkan keadaan masa depan yang akan dilalui oleh seluruh makhluk.
Ketika manusia memasuki zaman penemuan ilmiah dan menemukan peralatan-peralatan yang canggih untuk penelitian ilmiah, yakni untuk mencari rahasia-rahasia yang tersembunyi/belum terungkap di ufuk bumi dan langit dan dalam diri manusia, maka menjadi kejutan karena terbukanya cahaya wahyu ilahi yang turun kepada Nabi Muhammad saw..
“Katakanlah: Bagaimana pendapatmu jika (Al-Qur’an) itu datang dari sisi Allah, kemudian kamu mengingkarinya. Siapakah yang Iebih sesat daripada orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh? Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS 41:52-53)
Coba renungkan beberapa arti nash Al-Qur’an berikut: al afaq dalam pengertian etimologi adalah apa-apa yang tampak di sisi planet dan sisi bumi. Dan ufuq langit adalah sisi-sisinya. Oleh karena itu, asy-Syaukani bcrpendapat bahwa ayat di atas maksudnya adalah Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (ayat-ayat)-Nya pada berbagai sisi dan pada diri mereka. Sedangkan Ibnu Katsir menafsirkan bahwa Allah akan memperlihatkan/menampakkan kepada mereka petunjuk dan alasan-alasan-Nya yang mendukung bahwa Al- Qur’an itu haq , benar-benar diturunkan dari sisi Allah kepada Rasulullah saw. dengan bukti-bukti di ufuk maupun dalam diri manusia itu sendiri.
Adapun Ibnu Taimiyah berkata: “Cara yang kasat mata hendaknya manusia melihat ayat-ayat ufuqiyyah dan nafsiyah (ayat-ayat yang berkenaan/menjelaskan keadaan di ufiik dan di diri manusia), sehingga pada akhirnya mereka yakin bahwa wahyu yang sampai kepada Rasul dari Allah itu adalah benar. “Sedangkan Aththo’ dan Ibnu Zaid menetapkan bahwa arti al aafaq yang tersebut pada ayat di atas seperti yang dikutip oleh Qurtubi dalam kitab tafsirnya adalah bagian-bagian di langit dan di bumi, di antaranya adalah matahari, bulan, bintang gemintang, malam, siang, angin, hujan, guntur, kilat, angin ribut, tumbuhan, pepohonan, gunung-gunung, laut-laut dan lain-lain.
Dalam tafsir Jalalain disebutkan sanurihim aayatina flu aafaqi yaitu daerah di langit dan di bumi yang mencangkup api, tumbuhan dan pepohonan dari penciptaan yang baik dan hikmah yang mengagumkan.
Inilah ayat-ayat Allah dalam kitab-Nya yang membicarakan tanda-tanda kebesaran-Nya pada makhluk-Nya dan nyata dengan mukjizat ihniah yang jelas bersinar pada zaman penemuan ilmiah di permukaan alam.
Source : http://artikelterbaru.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar