Club Cooee

Rabu, 01 Februari 2012

KETIKA CINTA ANISA MASIH MENJAUH

Anisa yang kukenal lebih dari lima tahun terakhir sebenarnya tidak pernah berubah dalam sikap dan pendiriannya. Gadis menjelang 26 tahun itu dulunya mahasiswiku di sebuah perguruan tinggi swasta di ibu kota. Datang dari keluarga cukup mampu secara ekonomi, Anisa termasuk perempuan mandiri, berkemauan keras—kadang-kadang juga keras kepala, tapi mungkin wajar sebagai ciri orang cerdas—dan tidak pantang menyerah. Pekerjaan dan profesi yang digelutinya setahun terakhir boleh dibilang buah dari keuletannya mencari dan menemukan sesuatu karya yang diinginkannya. Betapa tidak! Anisa bekerja di sebuah perusahaan internasional dengan posisi yang cukup menjanjikan masa depan.
Semula perkara hati dan jatuh cinta yang pernah dikisahkan Anisa kuanggap hal sepeleh dan tipikal kaum remaja. Aku ingat tiga tahun silam, ketika suatu ketika di akhir kuliah, Anisa meminta waktu untuk bicara. “Tidak ada hal lain yang akan aku kerjakan seusai kelas ini, jadi kamu bisa ikut ke ke ruanganku kalau memang ada yang mau kamu bicarakan,“ jawabku.
Anisa langsung saja mengeluh ketika pantatku belum sempat menempel pada kursi tua di balik mejaku. “Ternyata tidak gampang meyakinkan laki-laki bahwa saya adalah pilihan yang tepat buatnya! Benar ngga sih pak!”
Kamu omong apa sih? Aku tak mengerti! Mengapa tiba-tiba saja kamu mengatakan hal ini? Ayo dong, mana premisnya. Jangan menarik kesimpulan seperti itu tanpa pernyataan pendukung lain!”
Ah, Bapak! Sekarang kan bukan kuliah logika!” “Maksud saya, semua laki-laki yang memiliki hati tidak pada satu perempuan sulit menentukan ke mana hatinya berlabuh!” “Jika sudah begitu, akan sia-sialah usaha saya membuktikan diri sebagai gadis yang paling tepat jadi pelabuhan hatinya!” “Benar ngga sih pak?”
Kamu sedang membicarakan Faizal, toh!” “Anisa, apa sih yang terjadi pada kalian?” “Bukankah kamu sudah lama saling mengenal?”
Anisa diam saja. Ruang kerjaku yang kurang dari enam meter persegi itu terasa semakin panas saja. Suasana agak sepi sore itu. Rekan-rekan dosen lainnya sepertinya sudah tidak sabar kembali berkumpul bersama keluarga setelah seharian penuh berada di kampus. Dan aku masih juga enggan mengeluarkan kata-kata lanjutan menanggapi kegundahan hati Anisa. Dari balik kaca mataku Anisa tampak cemberut. Wajahnya yang sedikit mengoval, kaca mata tipis dan alis mata yang tidak terlalu tebal sebenarnya mengindikasikan Anisa seorang gadis manis. Menurutku, dia termasuk satu dari sedikitnya lima mahasiswi di kelasku termasuk cantik dan manis—kedengarannya subjektif.
Faizal mungkin membutuhkan waktu untuk mengambil keputusan, “ aku mencoba memecah kesunyian.
Ah, alasan basi, Pak!” Laki-laki memang selalu punya alasan untuk membela diri. Sibuklah, sedang mengerjakan tugas kuliahlah, menemani adik mengerjakan PR, membantu ibu menjaga warung, dan semacamnya. Benar kan, Pak?”
Mungkin!” jawabku singkat. “Tapi kamu tidak bisa menggeneralisasi begitu dong! “Mengawali kalimat dengan semua laki-laki termasuk tipe kalimat universal afirmatif, kan!”
Itu kan, Bapak ini mengulang meluluh kuliah logika!”
Maksudku, pernyataanmu itu tidak menggambarkan realitas sesungguhnya, sama seperti ketika kamu menyangkal keseluruhan isinya, dengan mengatakan “Semua laki-laki tidak setia atau semua laki-laki pembual, dan seterusnya!”
Aku tahu Anisa tidak suka dengan caraku menanggapi pertanyaannya. Tapi aku pikir, dengan cara itu kegalauan hatinya bisa sedikit berkurang. Tapi ternyata aku keliru. Wajah ceria, keteguhan hati, ketegasan, kemandirian, dan beribu kewibawaan yang pernah aku kenal dalam diri si gadis mungil ini seakan sirna.
Kapan Faizal terakhir melewatkan malam minggu bersamamu?” tanyaku sekenanya.
Sebulan yang lalu, Pak!” Setelah itu dia terus menghindariku. Setiap kali aku telpon, dia selalu tidak mengangkatnya. Kalau aku SMS, dia hanya membalas, katanya mau nelpon balik. Tapi itu tidak pernah dia lakukan!”
Kamu tahu kan di mana dia tinggal?”
Ya, dia masih tinggal bersama orang tuanya, tidak begitu jauh sih dari kampus ini. Masalahnya dia tidak pernah membolehkanku mampir ke rumahnya.”
Sejak kapan dia tidak mengizinkan kamu ke rumahnya?” tanyaku.
Beberapa minggu terakhir ini!” jawab Anisa cepat.
Begini saja! Bagaimana kalau aku yang membicarakan hal ini dengan Faizal?”
Emangnya Bapak mau melakukannya!”
Aku coba, tapi tidak janji kalau ini akan berhasil meyakinkan Faizal untuk memutuskan pilihan cintanya padamu!”
***
Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu yakin mampu membicarakan hal ini dengan Faizal. Meskipun tidak secerdas Anisa, Faisal termasuk mahasiswa yang baik, dan agak tertutup. Sama seperti Anisa, Faisal termasuk mahasiswaku semester itu. Meskipun tidak mengenal dengan baik keluarganya, aku kira Faisal berasal dari keluarga baik-baik. Ayahnya seorang pensiunan PNS di kota ini, sementara ibunya seorang pedagang. Mereka memiliki sebuah warung klontong di rumah. Ya, bisa saja Faisal sibuk, mungkin membantu ibunya, kataku dalam hati.
Tapi apa betul, Faisal punya perempuan lain yang disayangi selain Anisa? Sepertinya tidak mungkin. O ya, jangan-jangan mahasiswa yang dibonceng Faisal tiga hari yang lalu itu perempuan yang dicemburui Anisa? Kebetulan saja saat di lampu merah pertama di ujung jalan depan kampus itu aku pernah melihat Faisal membonceng seorang gadis di sepeda motornya. Tidak jelas juga apakah teman kuliahnya. Motor Faisal berhenti agak jauh dari mobilku, jadi sulit mengenali siapa perempuan itu.
Ah, Anisa membuatku ikut terlibat dan memikirkannya!” aku bergumam. Tetapi mengapa aku harus terlibat? Mengapa aku bersedia membantu Anisa? Kecantikan dan kebaikan hati Anisa mungkin menjadi salah satu alasan. Anisa baik hati dan pengertian, tidak pernah terlambat menghadiri kuliah-kuliahku, dan selalu bersedia membantu jika dibutuhkan. Aku tahu dia tidak pura-pura berbuat baik, misalnya mengesankan dosen demi mendapatkan nilai yang memadai. Anisa cukup alamiah dalam bersikap. Dan yang terpenting, menurutku, Anisa memang cerdas. Kadang aku membayangkan, seandainya memiliki setengah mahasiswa di kelasku secerdas Anisa, mungkin tidak perlu usaha keras mendidik mereka.
Sementara Faisal bukanlah mahasiswa cerdas, meskipun tidak bisa dikatakan bodoh. Ah, sepertinya contradictio in terminis dong kalau ada mahasiswa bodoh. Kalau bodoh, mengapa bisa duduk di bangku kuliah? Peduli amat dengan kategori semacam ini. Yang jelas, Faisal pun termasuk mahasiswa yang baik hati. Meskipun demikian, sifatnya yang tertutup dan introvert menyulitkanku untuk mengetahui dia lebih jauh. Seingatku kawan-kawannya pun mengeluhkan hal yang sama. Satu hal yang aku senangi dari Faisal adalah kesetiaannya pada agama yang dianutnya. Dia tidak pernah—paling tidak sejauh pengamatanku—meninggalkan shalat.
Hari kedua di minggu ketiga bulan Maret ketika mahasiswa sedang sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian tengah semester. Kebetulan saja ketika sedang menuruni tangga menuju parkir di basement. Faisal baru saja selesai memarkir motornya dan bergegas menuju kantin di food court.
Selamat sore, Pak!” “Mau kemana, Pak!” sapa Faisal mengagetkanku.
Hei, Faisal! Baru datang kamu? Aku mau ke sekolahan anakku sebentar. Ada pertemuan orang tua murid!” jawabku cepat.
O ya, Faisal. Kamu kuliah sampai jam berapa?” tanyaku.
Jam tiga, Pak!”
Mau ngopi bareng aku jam tiga tiga puluh?” tanyaku.
Boleh, Pak! Tumben baik!”
Ah, kamu bisa aja. Oke, see you!
Bye, Pak!”
Akhirnya ada kesempatan juga membicarakan masalahnya Anisa dengan Faisal. Benar saja, Faisal sudah menungguku di warung kopi milik Mbak Nur di seberang jalan samping kampus. Kebetulan dia sendirian, padahal tadi pagi aku lupa memberitahunya untuk datang sendiri. Kopi untukku telah dipesan Faisal. Tinggal sekarang memesan pisang Pontianak kesukaan para mahasiswa.
Kamu jarang jalan bareng Anisa! Ada apa sih, Faisal?”
Ah, Bapak! “Jadi tukang gosip, nich! Tahu berita dari mana, Pak?”
Aku kan memperhatikan kalian. Biasanya seusai kuliah kamu jalan bareng Anisa. Kadang juga kamu ikut di mobilnya. Tapi belakangan ini aku jarang melihatnya.
Emang sih, Pak! Aku jarang jalan bareng sama dia lagi. Bahkan sebulan terakhir kami nyaris tidak bersama.” Aku malah berpikir untuk mengakhiri pacaran kami!”
Kenapa?”
Ngga kenapa-kenapa, Pak. Beda prinsip aja!
Wow, beda prinsip nich! Memangnya kamu punya prinsip apa, Faisal? Prinsip seperti apa yang membuatmu berbeda dari Anisa?”
Aku ngga suka aja cara dia memperlakukanku!”
Maksudmu?”
Anisa itu perempuan cerdas, Pak. Aku harus akui itu. Dia juga luwes, tidak suka basa-basi, dan pengertian. Tapi dia suka mengatur dan mengendalikanku! Dia ingin tahu apa yang aku kerjakan seusai kuliah, kemana saja aku pergi di hari Sabtu atau Minggu. Dia bahkan mengkritisi jadwal belajar mandiri saya, Pak!
Tapi sebenarnya kamu sayang ngga sama Anisa?”
Sejujurnya sayang, Pak!”
Itu baik, Faisal. Tidak mudah menyatukan dua hati yang berbeda prinsip, bukan?”

Faisal menganggung perlahan. “Semoga kamu berdua kembali baikan dan bersama seperti semula!” kataku!
Masalahnya ternyata sepeleh, pikirku. Yang satu tidak mau terlalu dikendalikan, yang lain mau mengatur semuanya. Agak aneh memang. Tetapi kenapa Anisa suka mengatur dan memegang kendali? Dia perempuan cerdas? Ya, mungkin saja itu berpengaruh. Dia juga seseorang yang punya visi, tahu apa yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditunda. Dia tahu mengatur waktu dan membagi kesibukan antara kuliah dan waktu untuk bersenang-senang bersama teman. Anisa tidak pernah terlambat mengumpulkan tugas kuliah. Dan yang paling kentara, dia tidak pernah terlambat menghadiri kuliah-kuliahku.
Hmm, perempuan perfek versus laki-laki yang ingin bebas, tetapi kadang kurang punya kemandirian. Aku menduga!
Anisa memang pernah memberitahuku bahwa mereka sempat ketemu dan ngobrol agak panjang keesokan harinya setelah pertemuanku dengan Faisal di warung kopi itu. Meskipun demikian, aku tidak tahu persis seperti apa pertemuan atau diskusi di antara mereka. Aku pun tidak harus tahu seluruh detailnya.
Tiga bulan sudah setelah ujian akhir semester. Dan ketika mahasiswa kembali dari libur panjang, aku sudah jarang melihat Faisal dan Anisa berduaan. Bahkan sekadar jalan bareng seusai bubaran kelas sampai Anisa naik ke mobilnya. Pemandangan yang agak aneh, pikirku. Entahlah! Yang bisa diduga, hubungan antarkeduanya mungkin saja telah berakhir.
Benar, Pak! Kami sudah tidak pacaran lagi, koq. Teman ajalah,” kata Anisa suatu waktu. Sementara Faisal sendiri tidak pernah mengatakan sesuatu apapun perihal berakhirnya hubungan mereka. “Bapak tanya aja sama Anisa. Dia yang lebih tahu segalanya,” jawab Faisal ketus ketika aku menanyakannya suatu ketika.
Ya, sudahlah! Bukan sesuatu hal yang baru dan aneh. Ini toh sudah menjadi dunianya para muda-mudi seusia mereka, kataku dalam hati sambil menggeleng-geleng kepala. Beda generasi memang beda rasa dan cara.
***
Ini tahun kedua kamu di perusahaan ini, ya?” tanyaku sedikit mengagetkan Anisa. Maklum, kami belum lama duduk di sebuah Kafe tempat Anisa biasa nongkrong bareng teman-temannya. “Ya, Pak. “Waktu memang cepat banget muternya, “ sahut Anisa.
Sepertinya kamu menyenangi pekerjaan yang satu ini.”
Bisa dibilang begitulah, Pak. Aku akan terus bekerja di perusahaan ini. Masa depan dan karierku sepertinya cukup cerah. Aku yakin akan berhasil di sini,” begitulah kobaran semangat Anisa.
Anak ini memang tidak pernah berubah, kataku dalam hati. Semangatnya selalu menyala-nyala. Sudah begitu, dia pasti berusaha semaksimal mungkin meraih semua yang diinginkannya.
Anisa memang beda banget, bukan hanya dengan Faisal, lelaki yang pernah singgah di hatinya, tetapi juga dengan teman-teman seangkatannya.Bagiku, dia tipe perempuan dengan kemampuan komunikasi prima. Meskipun masih sangat belia, dia memiliki pribadi yang tekun, ulet dan kuat. Jangan ditanya soal apa yang ingin dia raih dalam hidup. Cara dia memproyeksikan masa depannya ibarat dia sedang menghadapi kesuksesan itu sendiri, persis di hadapan wajahnya. Anisa tidak hanya pintar secara akal, tetapi juga secara sosial dan rohani. Di atas semuanya itu, dia sanggup menyatukan berbagai pihak dan kepentingan dalam merealisasikan berbagai proyek, kecil maupun besar.
Hari, minggu, bulan, dan tahun berlalu. Dan berbagai perubahan pun nyata dalam hidup Anisa. Sebagai mantan gurunya, aku bangga menyaksikan sukses demi sukses menghampiri karier Anisa. Dia bertumbuh menjadi gadis yang matang, dewasa, mandiri, dan bertanggung jawab. Dia berkembang menjadi perempuan pemimpin. Dia tampil sebagai sosok pemberi harapan.
Dan kini, setelah dua belas tahun berlalu, ketika Anisa masih saja sendiri. Aku justru berharap semoga dia segera menemukan seseorang, kekasih hati, pendamping hidup, atau apa pun namanya. Apakah cara pandangku terlalu kolot dan tradisional, bahwa anak gadis seharusnya sudah menikah sebelum usia tiga puluh? Atau malah sebelum usia dua puluh tujug?
Mungkin! Yang jelas suatu ketika ku tanyakan ini pada Anisa. “Kamu masih sendiri toh?” “Ya pak! But I am happy!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer widget