Setelah ta’aruf di rumah Murabbiyah ku saat itu, aku merasa makin mantap untuk mempercayakan dia menjadi imam bagi rumah tanggaku dan ayah bagi anak-anakku.
Aku yakin ia ikhwan yang baik, walaupun usianya satu tahun di bawahku, namun ia terlihat dewasa dan memiliki selera humor yang cukup tinggi. Aku merasa nyaman…
Proses ini akhirnya berlanjut dengan kunjungannya ke rumah untuk bertemu dengan Bapak dan Ibu. Bapak menyampaikan harapan-harapannya, salah satunya agar aku memiliki suami yang sudah bekerja tetap.
Alhamdulillah kunjungan itu berjalan lancar dan baik, aku merasa Ibu menyimpan harapan yang besar agar aku bisa menikah dengannya, menyusul adik laki-laki ku yang sudah memiliki satu anak.
Setelah kunjungan itu aku menunggu kabar, kapan waktu aku berkunjung ke rumah ikhwan tersebut untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Aku ingin mempersiapkan diri dengan baik, aku memikirkan bagaimana aku akan bersikap dan hal apa yang kira-kira akan dibicarakan. Semoga bisa memberikan kesan positif di pertemuan nanti.
Dua minggu kemudian, masih tidak ada kabar. Aku mulai bertanya-tanya dan gelisah, tapi aku berusaha memberikan kesan biasa saja di depan Murabbiyah dan teman-teman pengajianku.
Sebulan setelah kunjungan, kabar yang dinanti tiba. Namun ternyata berbeda dengan yang ku harapkan, ikhwan tersebut memutuskan untuk menghentikan proses….
Klik!
Setelah Murabbiyahku menutup teleponnya, aku menarik nafas panjang……
Sangat panjang……
Dalam kondisi penat, aku mengirimkan sms pada sahabat baikku.
“Ren, kamu lagi sibuk ga? Aku mau nelp…”
“Enggak, kenapa?”
“Ren, bener ga lagi sibuk?”
“Iyah bener, ada apa Mir? Mau cerita sesuatu?”
Ah… sahabatku ini terlalu peka…
“Iyah, tadi Mba Sofi telepon aku, ikhwannya bilang ga lanjut”
“Kenapa?”
“Entahlah, katanya dia minder karena pekerjaannya masih kontrak”
“Lho, bukannya kamu udah tau itu dari awal tukar biodata? Kenapa sekarang alasannya itu?”
“Ga tau lah… mungkin ada alasan yang lain…..”
“Mir, kamu gapapa?”
“Ya Ren, insya Allah aku gapapa, mungkin belum jodoh…”
“Apa kita perlu ketemuan? Kita obrolin gimana, lebih enak kayaknya…”
“Kapan, di mana?”
“Sabtu ini di rumah makan dekat rumah ku?”
“Hmm… Boleh deh”
“sabar ya Mir… insya Allah ada ganti yang lebih baik…”
“Aamiin…”
—————–
Setelah panjang lebar cerita dengan Rena, aku merasa lebih lega. Namun rasa sedih itu masih ada, sekaligus rasa kecewa, marah dan sakit hati, hingga tanpa aku sadari ada perasaan lain yang muncul di hatiku, rasa rendah diri…
Akhi, alasan apa yang kau sembunyikan?
Apakah aku tak layak untukmu?
Ada banyak tanda tanya yang bermunculan di pikiranku, tanda tanya itu semakin banyak dan tak berujung jawab…
Aku mampu menyembuhkan hatiku, insya Allah. Walaupun butuh waktu sekitar satu sampai dua minggu untuk membuat emosiku lebih stabil, perasaanku lebih tenang, pemikiranku lebih jernih, dan hatiku lebih lapang.
Namun ternyata, tidak secepat itu menyembuhkan kekecewaan Bapak dan Ibu…
Mereka juga kecewa, bahkan lebih kecewa…
“Kenapa Budi tiba-tiba membatalkan proses kalian? Alasannya apa? Kalau alasan karena kerjanya masih kontrak, kita semua sudah tau dari awal, kenapa sekarang malah jadi alasan? Kenapa dia ga langsung bilang ke kami kendalanya, kamu kan punya orang tua. Apa dia ga memandang kami??”
Aku tidak berani menatap mata Bapak, matanya penuh kemarahan. Aku terlalu takut…
Iyaa mba betul kata Bapak, kenapa kok si Budi begitu? Apa karena kita tinggal di gang? Rumahnya kecil dan kondisi ekonominya ga sama dengan dia? Ibu yakin mba, pasti ada alasan lain, pasti bukan karena pekerjaannya…”
Air mataku mengalir deras,
Aku hanya bisa menjerit dalam hati,
“Ibu, andai saja aku tau alasan Budi, andai aku tau…”
—————–
Suasana rumah benar-benar tidak menyenangkan, karena hampir seminggu lebih setelah kejadian itu aku selalu menghindari berbicara dengan orang tua dan langsung masuk kamar tidur ketika sampai di rumah.
Rena menasihatiku untuk memulai pembicaraan agar hubunganku dengan orang tua kembali seperti semula, tapi tak bisa.
Aku tidak cukup sanggup melihat gurat kesedihan dan kekecewaan di wajah kedua orang tua yang sangat aku cintai itu. Ah, aku benar-benar tidak sanggup….
“Mba, apa kita beli rumah yang lebih bagus ya? Jangan di gang begini, biar lebih pantes, gitu… “
“Ga usah Bu, bukan karena masalah ekonomi koq, beneran….”
“Atau mungkin kita coba totok aura ya? Mungkin ada yang menghalangi aura-mu, mba..?”
“Ibu, aku ga mau coba-coba yang kayak gitu, dosa Bu…”
Aku menatap lekat-lekat wajah Ibu,
bibirnya dipaksa untuk tersenyum tapi aku tahu… hatinya menangis…
Ya Allah, sayangi ibuku… selalu…
Beberapa minggu setelahnya, aku benar-benar berjuang untuk mengembalikan kondisi ruhiyahku, salah satunya dengan Qiyamul Lail. Aku habiskan malam-malam dengan tangis, aku ceritakan semua isi hatiku pada Dia Yang Memiliki Hati. Aku percaya, Allah akan menyembuhkan hatiku, menutup lukaku, dan memberikan ganti yang lebih baik……
Ya. Semua ini adalah kehendak Allah, pasti ada hikmah yang Allah ingin tunjukkan padaku, maka aku harus berpikir positif karena berpikir negatif tidak akan menambah apapun kecuali beban hati…
Setelah melewati masalah ini aku berdoa semoga bisa menjadi sosok muslimah yang lebih kuat, lebih tegar, lebih berpikiran positif dan insya Allah lebih dekat pada Allah… Bantu aku Ya Allah…
Namun sampai saat ini, jauh di lubuk hatiku, tanda tanya itu masih ada. Bahkan saat melihatnya di kajian bulanan, perasaanku masih saja tidak menentu.
Sedihkah? Kecewakah? Bingungkah? Marahkah?
Aku bahkan tak bisa menguraikannya…
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah [2]: 286).