Pesan yang tak banyak diperbincangkan
Pesan yang lebih sering ditinggalkan
Pesan tentang kematian
Aku melangkah masuk ke ruang itu
Berdiri, ku hamparkan sajadah merah
Aku tak tahu, ternyata sang utusan telah menunggu
Menunggu waktu, agar perhitungan menjadi tepat tanpa cela
Tiba-tiba semua berubah
Sang utusan telah menghampiri
Terasa perlahan semua menjadi gelap, saatnya terputus nikmat-nikmat dunia
Utusan itu memulai tugasnya
Terasa olehku ruh yang perlahan namun pasti pergi tinggalkan jasadnya
Tak ada yang mampu aku gambarkan, rasanya begitu dalam tak terperi
Semakin jelas, semakin tegas, saatnya berpisah dengan sang fana
Perlahan aku kehilangan segala indrawi
Kaki yang selama ini menopang pun menjadi lemah tanpa daya
Lidah yang kelu mencoba bersaksi akan iman pada Illahi
Aku jatuh
Terjerembab, berdebam di atas lantai kayu coklat tua
Aku masih di sana
Aku mampu melihat
Aku bisa mendengar
Namun, yang jua terlihat tak lain adalah jasadku semata
Aku mendengar ada yang datang
Derap langkah yang sangat ku kenal
Derap langkah yang menemaniku dari awal aku terlahir ke dunia
Derap langkah sang pembawa kehangatan
Manusia pertama yang mengantarkan aku terlahir ke dunia
Ia pula yang pertama menemukan aku pergi tinggalkan dunia
“Ibu!” aku berteriak, namun percuma raga itu tak bergerak
Ia berlari mendekat, dengan segala upaya berusaha bangunkan darah dagingnya yang tergeletak.
Gundah, payah, resah, semua terpancar dari wajahnya yang syahdu
Tiba-tiba segalanya berjalan cepat
Kini jasadku terbaring dengan pakaian putih sederhana
dan
Ibu masih di sana
Tak sedikit pun ada raungan
Tak sedikit pun terucap kesangsian
Hanya wajah sembab manusiawi karena kepergian sang buah hati
Ia usap keningku, wajahnya mendekat dan berbisik, “Ternyata kamu yang Allah panggil terlebih dahulu, Nak. Tak sedikit pun ibu menyesal karena kelak semua akan kembali kepada-Nya. Selamat jalan, Nak, semoga Allah berkenan mengumpulkan kita kembali di surga-Nya kelak.
Aku bersedih, menyesal
Amalan apa yang telah aku lakukan hingga ada jaminan dapat berkumpul lagi dengan mereka?
Bahkan tak sedikit pun ada jaminan aku mampu mencium aroma surga.
Maka, demi Dzat yang menggenggam nyawaku, visi utama keluarga haruslah pertemuan di surga
“Selamat tinggal, Ibu, semoga Allah berkenan menjawab doamu, maafkanlah anakmu, maafkanlah anakmu, maafkanlah aku”
Source : http://www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar