Club Cooee

Selasa, 17 Januari 2012

Malam Ini, Hujan Turun Lagi

Malam ini, hujan turun lagi. Hari ini malam kelima 10 Maret. Aku menatap rintik-rintik hujan yang turun sambil melamun. Kejadian itu sudah 5 tahun lamanya. Namun, aku tak pernah berhenti menangis bila mengingatnya. Dan seolah ingin menemani dukaku, rintik-rintik hujan selalu turun di malam 10 Maret.

“Sampai kapan kamu menyendiri terus, Nduk? Suara ibu membuyarkan lamunanku. Ini kelima kali ibu menanyakannya. Selalu dengan kalimat yang sama. Aku hanya menatap ibu sekilas, kemudian kembali menatap rintik-rintik hujsn dari balik jendela kamarku. Menangis lagi. Hal yang kulakukan tiap kali ibu menanyakannya.

”Badanmu kurus sekarang. Ibu sering merasa asing denganmu. Lima tahun yang lalu kamu gemuk. Meski dulu ibu sering meledek kamu, tapi sesungguhnya ibu senang melihatmu gemuk begitu.” Ibu masih mengatakan hal itu. Kali ini yang kelima. Dan selalu kujawab dengan mulut terkatup, air mata yang terus meleleh.

“Tahun ini sudah ada 5 pemuda yang ingin melamarmu. Tapi kelimanya kamu tolak, padahal kamu belum tahu pemuda-pemuda yang melamarmu itu seperti apa.”
Hujan agak mereda. Rintik-rintiknya mulai berkurang.

“Soni yang punya bengkel besar. Ibu dengar penghasilannya mencapai 100 juta per bulan. Yang kedua Reza, manager perusahaan. Dia sudah punya mobil pribadi. Yang ketiga Dio. Katanya sih dia bekerja di majalah remaja. Orangnya ganteng dan sepertinya baik. Ibu suka padanya. Yang keempat... kelima....”
Aku tidak pernah mendengarkan kalimat ibu selanjutnya. Dadaku sesak, dan rintik hujan yang masih turun membuat tangisku semakin deras.

Hujan mulai reda. Tangisku sudah habis, hanya sesengukan saja. Kututup jendela kamarku kemudian kuusap sisa air mataku. Jika sudah begitu, biasanya ibu merapikan tempat tidurku kemudian mempersilakan aku tidur, tapi kali ini tidak. Ibu mengganti sprei biru mudaku.

“Sprei biru milikmu sudah kusam warnanya. Kamu menggunakannya terus selama 5 tahun ini. Jadi kali ini ibu menggantinya dengan warna merah muda. Mudah-mudahan kamu suka.” Aku menggeleng. “Tidak, ibu. Kumohon, sprei biru itu saja.”

Ibu menatap mataku. “Bukankah merah muda warna kesukaaanmu, Nduk?’ aku menggeleng lagi. “Tidak, ibu. Tidak semenjak 5 tahun lalu.”

Ibu menitikkan air mata. Memeluk dan mengusap rambutku yang bergelombang. “Rambutmu panjang sekali, Nduk. Sudah hampir melewati pinggang.apa kamu tidak ingin mengguntingnya sedikit?’ tanya ibu sambil terisak. Aku hanya menggeleng.

“Besok ibu akan membelikan sprei baru untukmu. Warna biru biru muda. Jadi kamu tidak usah bersedih lagi ya. Sekarang, tidurlah.” Ibu berkata lembut seraya mengusap air matanya.

Aku melepaskan pelukan ibu. “Terima kasih, Bu.” Ibu tersenyum, lalu menutup pintu kamarku. Hening. Tinggal aku yang berbaring di tempat tidur dengan hati sedih. Aku selalu tidak ingin tidur sebelum jam 00.00 lewat. Karena bagiku, malam ini adalah malam yang berkesan untukku dan Felka. Meski ini malam kelima 10 Maret, tapi rasanya masih sama. Aku yakin Felka selalu menemaniku di malam 10 Maret. Jadi, aku sama sekali tidak boleh melewatkannya. Di malam ini aku’bertemu’ dengannya. Kami akan melepas rindu, menyanyikan lagu favorit kami dan memandang ribuan bintang di langit.

***

Pukul 04.45
Aku terbangun mendengar suara adzan yang bersahutan memecah keheningan pagi. Dan seperti dikomando, ayam jantan milik tetanggaku berkokok riang. Suaranya yang lantang selalu dapat membangunkanku saat terkadang aku sangat mengantuk, enggan bangun untuk sholat shubuh karena seringkali suara adzan yang merdu membuatku terbuai untuk kembali tidur.

Aku ingin menangis. Aku tertidur. Ah, pasti Felka kecewa karena saat dia datang semalam, aku sudah tidur. Tapi, kenapa dia tidak membangunkanku? Kalau sudah begini aku jadi sebal. Felka selau tidak mau membangunkanku. Padahal aku sudah bilang padanya agar bila aku tertidur aku dibangunkan saja.

“Nduk, cepatlah sholat, nanti waktunya keburu habis...” Aku tersentak mendengar teriakan ibu. Aku segera mengambil wudhu, kemudian sholat. Setelah sholat, hatiku merasa damai, sejuk... lalu tersadar. Felka sudah meninggal. Ya Allah, ampuni hamba yang belum bisa menghapus bayangnya, rintihku dalam hati.
Ibu membuka pintu kamarku. “Sudah selesai sholat, Nduk?” aku mengangguk. “kalau begitu, mandilah. Sarapan sudah siap. Ibu buatkan ikan gurame saus asam kesukaanmu.” Aku mengangguk lagi.

***

Ikan gurame saus asam buatan ibu sangat enak. Tidak kalah dengan buatan restoran. Ssebenarnya aku tidak begitu menyukai ikan. Tapi Felka sangat menyukai ikan, terutama ikan gurame. Lama-kelamaan aku menyukainya juga. Ah, Felka... lagi lagi aku membayangkannya.
“Kamu melamun, Nduk?’
Aku tersentak. “Tidak, Bu.”
Ibu terlihat sedih.

“Ibu kenapa sedih?’ tanyaku lirih. Aku tahu sebenarnya ini peertanyaan konyol. Tentu saja ibu sedih melihatku melamun membayangkan Felka. “Ibu, maafkan aku...” ucapku menyesal.

“Nduk, sudah lama kamu terlarut dalam kesedihan. Ibu mengerti, kamu sangat menyayangi Felka sehingga kamu begitu terpukul atas kematiannya. Tapi, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu sangat sedih melihatmu begini, ibu rindu kamu yang dulu...” suara ibu tercekat. Aku hanya bisa menangis mendengar kalimat menyayat dari ibu.

“Felka juga pasti sedih melihatmu begini, Nduk.”.
Air mataku semakin deras bergulir. “Ibu, maafkan Elsi. Tapi sampai saat ini hati Elsi belum bisa melupakan Felka. Elsi tidak mau menyakiti hati laki-laki lain dengan berpura-pura mencintainya...”
“Ibu mengerti. Tapi bagaimana kamu bisa mencintai lelaki lain kalau kamu tidak pernah mencoba membuka hatimu, Nduk?”
Aku hanya bisa terus menangis menjawab pertanyaan ibu. “Maafkan aku, ibu...” hanya itu yang bisa kuucap.

***

9 Maret 2005
Elsi sangat gembira. Setelah 3 tahun di Lampung, akhirnya ibu mengajaknya pulang ke kampung halamannya, Kediri, Jawa Timur. Kata ibu, kakek sudah semakin memprihatinkan kondisinya. Makanya ibu berniat menjenguk. Kebetulan Elsi sedang libur kuliah, jadi ia bisa sekalian liburan.

“Elsi... oleh-olehnya sudah dipak belum?” teriak ibu dari belakang.
“Sudah, Bu. Beres...”
“Satu jam lagi kita berangkat. Kamu siap-siap gih.”
“Iya, Bu...” ucap Elsi riang.
Setelah ganti baju dan mengenakan jilbab, Elsi menelepon Felka.
“Assalamu’alaikum...” sahutnya.
“Waalaikumsalam...” jawab Elsi riang.
“Ada apa, sayang? Kok kayaknya seneng banget?”
Elsi tersenyum. “Gimana nggak seneng. Ini aku mau pulang ke Kediri!”
“Sayang, jangan becanda deh. Aku tahu kamu kangen, tapi jangan becanda gini dong. Masa tiba-tiba kamu bilang mau ke Kediri?”
“Aku nggak becanda, Felka. Aku sama ibu mau jenguk kakek. Sejam lagi kita berangkat.”
“Kamu serius?”
“Serius banget malah.”
“Aku seneng banget. Aku janji besok akan menemui kamu. Kita akan mewujudkan mimpi-mimpi kita selama ini, sayang. Alhamdulillah...”
“Iya, Fel. Aku tidak sabar ingin bertemu denganmu.”
“Aku juga, sayang.”
“Mmm... Felka sayang aku berangkat dulu ya. Sampai ketemu...”
“Oke, sayang. Sampai ketemu. Miss you...”
“Miss you too...”

***

Sepanjang perjalanan, Elsi tak henti-hentinya bersenandung. Ia membayangkan pertemuan indahnya dengan Felka. Ya, Felka. Seseorang yang ia sayang. Ia belum pernah bertemu dengan Felka. Mereka berkenalan via handphone. Soni, teman SMA Elsi yang memberikan nomornya pada Felka. Kebetulan sekarang Soni satu universitas dengan Felka, bahkan serumah. Kata Soni, waktu itu Felka patah hati setelah dikhianati Rista, pacarnya dan dia butuh seseorang untuk membuatnya melupakan Rista.

Soni mengenalkan Felka pada Elsi karena menurutnya Elsi baik, pintar & pengertian. Bisa membuat Felka kembali bersemangat. Sebaliknya, Felka bisa membuka pikiran Elsi tentang dunia ini karena Elsi suka menyendiri, kutu buku, kuper. Biar gaul, begitu candaan Soni.

Dan memang pada akhirnya mereka cocok. Meskipun berbeda sifat, tapi pemikiran mereka sama. Felka memang anak band, anak motor, gaul. Tapi ia punya pemikiram serius tentang masa depannya. Felka juga dewasa. Ia selalu bisa ngemong Elsi yang kadang-kadang manja.

Elsi tak henti-hentinya tersenyum membayangkan itu semua. Perkenalan yang indah dengan Felka. Felka yang selalu bisa membuatnya bahagia. Felka yang gentle tapi lembut, yang mau menrima Elsi apa adanya. Elsi selalu ingat sajak sederhana yang diungkapkan Felka saat mereka berkomitmen untuk menjalin hubungan. Waktu itu Elsi masih ragu. Ia bertanya pada Felka, bagaimana bisa Felka jatuh cinta padanya padahal mereka belum pernah bertemu. Dan Felka hanya menjawab pertanyaan Elsi dengan sajak sederhana yang menurut Elsi sangat indah, yang mampu memupus keraguannya tentang cinta mereka:

Mengapa cinta ada?
Karena ia tahu
Kau dan aku tercipta
Ah, Felka... begitu sempurnanya dirimu bagiku, gumam Elsi.

***

Kediri, sore hari.
Jalanan sangat ramai, orang-orang berlalu lalang memadati terminal tamanan kota kediri. Elsi menatap sekeliling. Mengamati tiap sudut terminal yang 3 tahun lalu menjadi saksi kepindahannya ke Lampung. Terminal ini tidak banyak berubah, hanya saja semakin ramai.
“Mas Awan mau jemput jam berapa, Bu?” tanya Elsi sambil meregangkan otot. Tiga puluh jam di bus cukup membuat badannya kaku.
“Sebentar lagi sampai. Dia sudah jalan,” jawab ibu yang juga sedang meregangkan otot. Dan benar, 5 menit kemudian mas Awan, kakakku datang.

“Tambah gemuk aja kamu,” ucapnya ketika pertama kali melihat Elsi.
“Huuu... pertama ketemu bukannya muji malah ngledek,” protes Elsi.
“Kalau aku bilang kamu kurus malah fitnah jadinya, “ lanjut mas Awan.
Elsi merengut. “Bilang aku cantik kek.”

“Hahaha....” mas Awan tertawa ngakak. “Cantik diliat dari menara Eiffel.”
Elsi memukul lengan mas Awan. “Dasar sirik. Bilang aja kamu iri dengan kecakepanku.”
“Hahaha...” mas Awan tertawa lagi.

Ibu hanya geleng-geleng kepala melihat kedua anaknya. Sejak kecil mereka memang begitu. Selalu berantem, saling meledek, hampir tak pernah memuji. Tetapi sebenarnya mereka saling menyayangi, dan begitulah cara mengungkapkannya.

“Ngomong-ngomong... mana cukup bonceng aku sama ibu kalau naik motor. Barang- barangnya gimana?’ tanyaku.

“Yeee...sapa yang mau boncengin kamu? Naik becak lah, sekalian sama barang-barangmu yang seabrek.”
Aku merengut. “Ya udah. Lagian aku juga ogah diboncengin sama kamu,” Elsi menjulurkan lidah, balas meledek.
“Baguslah kalo gitu...” Mas Awan nyengir. “Aku sama ibu jalan dulu ya. Kamu masih hafal jalan ke rumah kan?”
“Ya masih lah. Kamu pikir aku udah pikun apa?”
“Ya, sapa tahu. Hahaha....” mas Awan ngeloyor pergi.
Becak yang ditumpangi Elsi berjalan perlahan. Pengemudinya seorang bapak paruh baya berusia sekitar 50 tahun. Nada dering HP-nya berbunyi. Incoming call, dari Felka.

“Halo, sayang...” jawabku riang.
“Idih, bukannya salam...” ucap Felka.
“Hehehe... maaf. Aku terlalu gembira. “Assalamu’alaikum, Felka Windu Naresa...”
“Waalaikumsalam, Elsi Winda Mei Lista...”
Elsi dan Felka tertawa riang.
“Nanti malam aku ke rumahmu ya. Kamu udah sampe, kan?”
“Udah. Mmm... tapi kenapa nggak besok pagi aja?”
“Aku udah nggak sabar, sayang.”
“Iya, aku ngerti. Tapi...”
“Kamu kenapa? Kok bimbang gitu?”
Elsi terdiam. Ah, kenapa perasaanku mendadak jadi tidak enak? Ya Allah, semoga ini bukan pertanda buruk, doanya dalam hati.

“Sayang...”
“Oh, iya. Mmm... ya udah terserah kamu. Maksudku besok pagi biar kita bisa berduaan lebih lama,” jawabku.
“Ya besok pagi aku ke rumahmu lagi, sayang.”
“Oh, gitu. Aku seneng banget dengernya.”
“Ya dah, sampe nanti sayang...”
“Ya, sampe nanti...”
10 Maret 2005, pukul 19.30
Elsi sudah selesai berdandan. Ia tersenyum bahagia. Setelah menyematkan bros biru muda bermotif bunga yang senada dengan jilbabnya, ia keluar kamar menuju teras. Menanti kedatangan Felka.
“Duileh... tumben dandan. Mau kemana kamu?’ mas Awan mulai jahil.
“Mau tahu aja.” jawab Elsi cuek.

“Alah, paling juga kencan sama Dono tetangga sebelah yang bencong itu...” mas Awan meledek.
Biasanya Elsi akan balas meledek atau bahkan memukul mas Awan, tapi kali ini tidak. Elsi terlalu bahagia, hingga enggan menanggapi ledekan mas Awan.
“Kamu ini ngledekin adikmu terus. Mending bantu ibu bagiin oleh-oleh buat saudara, sekalian kita ke rumah kakek.”

Mas Awan merengut, lalu beranjak membantu ibu.
“Nduk, ibu sama mas ke rumah kakek dulu. Besok kamu menyusul ya. Ibu mau menginap di rumah kakek.”
“Iya, Bu. Salam buat kakek.”

Pukul 20.15
Elsi mulai resah. Ia ingin menelepon Felka, tapi urung. Mungkin Felka masih di jalan, ia takut mengganggu konsentrasi Felka. Ia beranjak dari kursi menuju ke arah jalan. Ia memandang langit. Ya Allah, kenapa tiba-tiba langit mendung? Perasaanya mulai tidak enak. Resah, khawatir, takut, semua jadi satu. Ya Allah, hamba mohon lindungilah Felka...

***

10 Maret 2005, pukul 19.30
Felka tersenyum bahagia. Ia telah selesai berdandan. Rasanya ia tak sabar untuk bertemu dengan Elsi.
“Mama... aku pergi dulu ya...”
“Mau kemana kamu? Tumben pamit. Biasanya langsung ngeloyor. Dan... tunggu. Wajah kamu sumringah sekali.”
Felka tersenyum. “Aku mau menemui bidadariku, Ma.”
“Apa dia benar-benar spesial bagimu? Kamu tidak pernah sebahagia ini sebelumnya.”
“Iya, Ma. Dia sangat spesial.”

Mama Felka mengamati wajah anaknya. Pipinya tembem. Felka gemuk sekarang. Tapi untunglah Felka tinggi, jadi badannya masih terlihat bagus & keren. Mama Felka terdiam. Selama ini ia jarang memperhatikan Felka. Menjadi single parent yang bekerja sebagai manager perusahaan membuatnya sibuk bekerja.
“Mama kok melamun?” tegur Felka..

Mama Felka tersadar. “Oh, tidak. Mama hanya ingin mengamati wajahmu. Sudah lama mama tidak memperhatikanmu. Mama terlalu sibuk. Maafkan mama...”
Felka memeluk mamanya. “Iya, Ma. Felka ngerti. Maafin Felka juga ya Ma...”
Mama Felka melepaskan pelukan. Mengamati wajah anaknya lebih dalam lagi. Seolah ini terakhir kalinya ia bertemu dengan anaknya.

“Ma... mama kenapa?”
“Entahlah. Mendadak mama jadi kangen sama kamu.”
Feklka tersenyum. Ia menatap wajah cantik mamanya.
“Setelah menemui Elsi, aku akan segera pulang Ma. Mama jangan sedih ya.”
“Iya, hati-hati di jalan sayang, sampaikan salam mama buat Elsi.”
“Oke, Ma. Bye...”

***

Pukul 20.30
Hujan deras disertai petir menghiasi malam duka itu. Felka tidak datang menemui Elsi. Yang hadir hanyalah jilbab biru muda berlumuran darah yang diantarkan mama Felka dengan mata sembab. Jilbab biru muda yang akan diberikan kepada Elsi ikut terpental bersama tubuh Felka ketika kecelakaan maut itu terjadi. Sebelum nafas terakhir Felka berhembus, Felka menatap jilbab berlumuran darah dan mengucap nama Elsi.
Malam itu mulut Elsi terkatup. Tubuhnya seperti tak bernyawa. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan selain menangis. Pikirannya kosong. Senyum lenyap dari wajahnya. Hatinya terlalu sedih menerima kenyataan ini.

***

Setelah kepergian Felka, Elsi hanya fokus pada kuliah dan pekerjaannya sebagai cerpenis. Ia enggan memikirkan lelaki lain, karena hatinya sudah hilang seiring dengan kepergian Felka.

***

10 Maret 2006
Malam ini hujan turun lagi. Elsi menatap rintik hujan dari balik jendela kamarnya. Dan malam-malam 10 Maret selanjutnya juga begitu. Felka tetap tertanam di hatinya, tak tergantikan oleh siapapun. Ia benci warna merah muda karena Felka tidak menyukai warna itu. Felka menyukai warna biru muda... begitupun Elsi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer widget