Club Cooee

Senin, 16 Januari 2012

Cerpen Remaja : Hujan-pun Tahu Kita Bertemu.

Gelap masih setia pada sang malam, pun angin tak jua bosan menancapkan bisa gigil ke tulang-tulangku, namun tetap saja aku masih  di sini, setia mengumpulkan serpihan-serpihan kisah yang pernah kita kastilkan tapi telah memuing setelah topan memporandakan tembok-tembok harapan. Aku merangkum setiap potongan kenangan-kenangan itu agar utuh menjadi sosok bayangmu. Sejenak saja ingin kupeluk, agar beku rindu tak menghantam nurani lewat irama jantung yang tak lagi ramah. Sayang, apa kau tahu? di sini, di tempat kita pernah  menanam janji, aku kembali dan kudapati semua benih itu hanya tumbuh menjadi nisan atas  mimpi-mimpi kita dan juga nisanku malam ini. Apa kau masih ingat? tiga tahun kita menautkan hati sedang raga masih serupa misteri. Lewat dunia maya kita menggalang asa hingga jiwa benar-benar bercumbu nyata. Dan apa kau masih ingat pula malam itu ketika kita memutuskan untuk menghapus setiap sekat maya, agar raga-raga kita menyatu dalam ruang yang tak lagi samar, ruang  yang jauh dari semu seperti rasa pesimisitas yang pernah aku hadirkan untuk menghadang rasamu tapi aku justru kalah oleh rayumu yang melambungkan angan? malam itu kita memilih untuk mempertemukan lahiriah yang sekian lama terkotak dalam jarak. Aku menunggumu di sini, meski hujan tak bisa kuajak kompromi untuk sedikit mereda hingga kau datang.

"Datanglah kekasih. biarpun hari hujan
cinta kan mengiringimu dengan kehangatan
bawa saja seluruh kerinduanmu
kita satukan di dalam dekapan

langkahkan kakimu,sepenuh irama
biarkanlah jejakmu membekas di jalan
buka saja mantelmu,basahkan tubuhmu
hujanpun tahu, kita bertemu.....
(..............)'"

Lagu Franky Sahilatua, Biarkan Hujan, aku dendangkan seolah menjadi harapanku atas dirimu yang sudah hampir empat jam terlambat dari waktu yang kita jadwalkan. Dan tepat pada lirik 'Hujanpun tahu, kita bertemu..." mataku menangkap sosok yang kukenali sebagai dirimu. Ya, foto profilmu di FB masih cukup jelas aku ingat. Aku melihatmu menuju ke arahku. Tuhan, ada apa dengan jantungku? kenapa tiba-tiba saja detaknya seperti tak bisa aku kendalikan? aku bukan pertama kali jatuh cinta tapi untuk kali ini, benar-benar sebuah rasa yag tak biasa.

"Hei, aku Erik! kamu Amanda, kan? " tanyamu seraya mengulurkan telapak tangan untuk aku jabat. Aku tak bisa berkata-kata, sosokmu jauh dari yang aku bayangkan. Binar matamu lebih teduh, senyummu manis, tulang rahangmu membentuk wajah lelakimu sempurna dalam pandangku, fisikmu tak terlalu atletis tapi cukup kokoh, setidaknya untuk aku sandarkan tubuh mungilku ini. Aku mulai berspekulasi tentang penilaianmu padaku. akh, apa kau kecewa saat ini? apa yang kau pikirkan? apa aku bukan yang kau harap? Akh, kutepikan semua itu karena aku ingat kau pernah bilang, kau menyukai watakku, pemikiranku yang nasionalis, moderat, dan sikapku yang tak mudah menyerah, begitupula aku menyukai itu darimu, tapi tak bisa kupungkiri kalau ternyata fisikmu juga menawarkan pesona yang tak mampu disangkal.

"Apa aku lebih ganteng tak seperti dugaanmu hingga dari tadi kau bergeming dan tak memberi tanganmu atau sekedar menjawab tanyaku?" Aduh, aku jadi salah tingkah terlebih saat kau membuka suara untuk kedua kalinya.

"Lumayanlah, minimal tidak terlalu buruk untuk ukuran standarku!" jawabku sedikit angkuh untuk menyembunyikan rasa gugupku yang hampir tak bisa aku netralisir. Genggaman tanganmu membuatku lemas. Aku nyaris pingsan...tapi bagaimanapun, aku Amanda, gadis anggun yang tetap harus bisa menjaga sikap di hadapan lelaki termasuk dirimu.

Sejak malam itu, kita selalu bertemu saat kau pulang ke Manado. Kau berjanji akan melamarku setelah menyelesaikan pendidikan pasca sarjanamu di UI sementara aku setahun lagi akan menyandang gelar Sarjana Komunikasi di Unsrat. Setelah menikah, kau ingin memiliki dua anak laki-laki, dua anak perempuan dan aku mengaminkannya. Memiliki keluarga yang dibangun dengan fondasi yang penuh cinta adalah impianmu juga aku tentunya. Mendidik anak-anak kita menjadi nasionalis sejati, anak-anak yang cinta tanah air seperti ibu dan bapaknya, menerima perbedaan sebagai keragaman dan semua harapan-harapan itu begitu indah kita tanamkan di sini, di Pantai Boulevard. Sayangnya, setelah saat itu tiba, setelah kita sama-sama menyelesaikan pendidikan, kau tak juga melamarku. Perbedaan keyakinan di antara kita menjadi aral yang sulit kita tembusi.
Orang tuamu adalah penganut fanatik agama Kristen, terlebih ayahmu yang seorang pendeta tak mau menerimaku, kecuali aku ikut keyakinanmu dan rasa cintaku yang teramat besar padamu akhirnya membuatku berani mengambil keputusan yang menggegerkan seluruh keluarga besarku. Aku bahkan tidak di akui oleh ayahku, seorang guru ngaji di kampung Arab, sebagai anaknya lagi. Tapi belum genap lima hari aku murtad dari agamaku, badai tiba-tiba datang dan dalam semalam menghancurkan segalanya. Tasya, sepupumu mengabarkan kalau kau kawin lari karena ditentang ayahmu dengan seorang gadis muslim bernama Aisyah yang baru kau kenal selama satu minggu dan kau memilih menjadi mualaf. sayang, apa yang sudah kau lakukan padaku? demi dirimu, aku rela di usir keluargaku, bahkan Tuhan-ku pun berani aku khianati.

Sayang, apa kau masih ingat semua itu? malam ini, di sini di pantai Boluevard, aku datang lagi memberanikan diri menjenguk kenangan-kenangan kita meski setiap rekaman peristiwa-peristiwa itu seperti belati yang menikam sadis tepat ke dadaku berulang-ulang, tapi untuk apa aku pedulikan itu? toh sebentar lagi aku hanyalah jasad tak bernyawa. Hujan kembali mengguyur di Negeri Nyiur Melambai dan lengkap sudah serpihan-serpihan kisah yang kini menjelma menjadi sosokmu yang hangat dalam peluk anganku. Kini hanya bayangmu yang sanggup aku rengkuh sebab nyatamu telah hilang. Kau berubah lagi menjadi maya yang teramat maya...

"Datanglah kekasih. biarpun hari hujan
cinta kan mengirimu dengan kehangatan
bawa saja seluruh kerinduanmu
kita satukan di dalam dekapan

langkahkan kakimu,sepenuh irama
biarkanlah jejakmu membekas di jalan
buka saja mantelmu,basahkan tubuhmu
hujanpun tahu,.(........)"

Kembali lagi lagu, Biarkan Hujan, aku lantunkan seperti waktu lima tahun lalu ketika kita pertama kali bertemu, meski kali ini dengan suara yang serak. Sayangnya aku tak lagi sanggup melanjutkannya hingga pada kalimat berikutnya karena hujan tahu, kita tak akan lagi bertemu...aku putuskan mengakhiri hidupku di sini. Dan riak ombak Boulevard akan selalu menjadi kabar untukmu, kabar tentang kepergianku bersama luka yang kau titipkan ** PG.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer widget